Oleh Santon
Tekege
Dalam realitas
Indonesia memperlihatkan bahwa politik dimengerti sebagai sesuatu yang buruk,
jijik, dan jahat. Karena memang ada banyak praktek politik yang kurang baik
diperlihatkan oleh pihak-pihak pemegang politik kekuasaan di Indonesia. Padahal
politik kekuasaan itu pada dasarnya sangat baik jika digunakannya demi
kepentingan bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama “Bonum Commune” oleh Pastor
Fransiskus Katino, Pr (Dosen Pengajar Teologi Politik, pada Sekolah Tinggi
Filsafat dan Teologi “Fajar Timur”, Abepura-Papua) sejak 30 September 2013. Namun salah kaprah oleh para penguasa karena
tidak memikirkan akan kesejahteraan bersama “bonum
commune” bagi rakyat Indonesia, justru karena itu keterpurukan hidup dan kemiskinan
menjadi isu harian di Indonesia. Hal ini muncul karena politik dijadikan
sebagai permainan politik untuk berkuasa. Bahkan untuk mencari kepentingan
diri, keluarga pejabat dan wakil rakyat Indonesia alias bukan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” melainkan kenyamanan sosial bagi seluruh keluarga pejabat dan
wakil rakyat Indonesia. Cita-cita luhur Pancasila, sila ke-5 dikhianati oleh
para pemegang kekuasaan politik di Indonesia. Kalau demikian, di mana posisi rakyat
jelata Indonesia?
Politik Indonesia
sangat dominan dimainkan dengan pendekatan kekuasaan. Kekuasaannya itu sering
digunakan untuk mencaplok demi kepentingannya sendiri, keluarga dan kelompoknya.
Pemegang kekuasaan Indonesia sering mencari kenyamanan sosial bagi seluruh
pejabat keluarganya dan wakil rakyat Indonesia. Sementara warganya menderita,
penuh jeritan dan tangisan di Indonesia. Pada posisi ini, pemerintah Indonesia
buta melihat jeritan warganya alias ikan cakalang pasar senen Jakarta “Matanya terbuka lebar, tetapi tidak
melihat”, dan pemerintah Indonesia buta mendengar alias orang tuli di Jakarta
kota “Kuping telinga terbuka besar tetapi tidak mendengar”. Gelar ini
sangat cocok dan boleh dipakaikan bagi pemerintah Indonesia notabene pemegang
politik dan kekuasaan pada negaranya.
Politik
sebagai Panggilan Manusia
Politik sebagai
panggilan setiap warga Indonesia. Karena itu, kita dipanggil untuk mengusahakan
prinsip universal bersama yakni “Bonum
Commune”. Kita dipanggil untuk peka mengganapi perubahan-perubahan yang
terjadi, misalnya penyakit-penyakit
sosial yang berkaitan dengan kemiskinan, diskriminasi, korupsi, pelecehan
hak-hak asasi manusia dan pengangguran. Semua ini bertolak belakang dan
meniadakan prinsip umum sehingga politik sebagai perutusan bagi manusia, sangat
kurang diperlihatkan di Indonesia. Padahal gagasan perutusan ini menjadi
prinsip dasar dalam menanggapi situasi penyakit sosial di Indonesia.
Politik bukan lagi
dilihat sebagai panggilan manusia melainkan tempat untuk mencari popularitas
diri, kepentingan diri, dan keluarga. Hal ini mesti ditiadakan dan menekankan
pada panggilan manusia untuk mengusahakan kesejahteraan bersama khususnya dalam
keterpurukan hidup dan kemiskinan rakyatnya yang sengaja dibiarkan oleh
pemerintah Indonesia. Kalau memang kesengajaan dibiarkan rakyatnya menderita,
dan hidup dalam keterpurukan, untuk apa adanya negara Indonesia? Maka itu, kita
sebagai warga Indonesia dipanggil untuk terlibat aktif dalam khanca politik
bukan politik dilihat sebagai kotor, jijik dan jahat. Namun kita dipanggil
untuk memperluas prinsip-prinsip dasar setiap agama dan budaya di Indonesia.
Bukan untuk bermain dengan segala cara dan gaya untuk meniadakan
prinsip-prinsip universal yang di ada di Indonesia.
Dasar keterlibatan setiap
kita dalam politik terletak dalam tujuan membangun “bonum commune”. Membangun masyarakat atau komunitas yang lebih
baik merupakan agenda bersama dan utama dalam sebuah negara. Orang yang
terlibat dalam politik mesti mengusahakan tujuan atau arah sebuah negara untuk
rakyat yang makmur dan sejahtera. Walau demikian, kenyataan Indonesia tidak
memperlihatkan tujuan membangun masyarakat yang sejahtera “bonum commune” karena di sana orang mencari keuntungan pribadi,
kepentingan keluarga diutamakan, dan kepentingan kelompok selalu ditekankan
setiap saat, padahal sangatlah keliru dan melenceng dari tujuan awal sebuah
negara. Dalam konteks seperti ini, setiap kita dipanggil untuk membangun dan
mengusahakan masyarakat yang lebih baik, aman dan damai tanpa adanya
penyakit-penyakit sosial di negara ini.
Politik
untuk Kekuasaan di Indonesia
Di zaman filsuf Plato dan Aristoteles, politik merupakan ruang publik dimana setiap warga
bebas yang berasal dari berbagai macam bidang boleh datang untuk terlibat.
Secara praktisnya politik dapat dipahami sebagai seni mengatur dan mengurus
Negara. Namun ketika seni mengurus Negara mencakup kebijakan atau tindakan
dalam urusan kenegaraan terhadap rakyatnya, maka seni kepengurusan tersebut mau
tidak mau melibatkan banyak warga masyarakat yang bebas. Karena itu, Plato maupun Aristoteles mengusulkan agar politik berjalan dengan prinsip
keadilan. Di sini sangat jelas bahwa kedua filsuf dapat memikirkan dalam
lapangan terbuka dimana setiap orang yang bebas datang berdiskusi tersebut
memiliki motif yang jelas politik memiliki orientasi pada kepentingan bersama.
Inilah semangat dasar dari praktek politik bukan mencari kepentingan pribadi,
keluarga dan kelompok melainkan mewujudkan cita-cita awal yakni mengusahakan
kesejahteraan umum. Namun ketika cita-cita itu dikhianati dan dihancurkan demi
kepntingan dan kekuasaan diri, keluarga dan kelompok, maka muncullah berbagai
kecurangan dan manipulasi prinsip-prinsip universal yang pada gilirannya
menjadikan wajah praktik politik itu menjadi kusam “bdk.Mikhael Dua (ed), Politik Katolik: Politik Kebaikan Bersama,
Jakarta: Obor 2008, hal. 257”.
Dalam realitas sosial
memperlihatkan bahwa negara ini penuh dengan berbagai penyakit sosial, misalkan
kecurangan dan manipulasi, korupsi dan pelecehan terhadap martabat manusia
alias warganya. Dikarenakan orientasinya selalu pada kepentingan diri, keluarga
dan kelompok, orang selalu mencari berlindung pada ketidaksetiaan, mencari
keenakan pribadi dan keluarganya, selalu mencari kenikmatan pada setiap kesempatan,
adanya pemalsuan dengan segala cara, pemborosan berbagai dana demi kekuasaan
dan kepentingan politiknya, dan menggunakan kekuasaan untuk menguasai rakyat
Indonesia. Karena itu, tidak diperlihatkan rasa sebagai warga Indonesia tulen,
tidak adanya semangat pelayanan dan pengabdian pada warga Indonesia, hilangnya
nilai solidaritas sebagai warga Indonesia, dan bahkan meniadakan kepentingan
seluruh rakyat Indonesia karena dirakusi oleh kepentingan politik dan kekuasaan
yang merajai di Indonesia.
Indonesia dengan
kepentingan politik dan kekuasaannya tanpa memikirkan dampak rugi dan untung
beberapa puluh tahun ke depan, pemerintah mencanankan 1 juta hektar hutan untuk
perusahan kelapa sawit di Indonesia “hutan Kalimantan dan Papua menjadi makanan
para kapitalis asing dunia”. Para kapitalis memegang peran penting di
Indonesia. Indonesia telah membuka pintu lebar bagi kaum kapitalis untuk
mengembangkan perusahannya di Indonesia. Alasannya Indonesia negara baru
berkembang sehingga siapa pun pemodal bisa mempengaruhi pemerintahan di
Indonesia. Imbasnya adalah rakyat menjadi pekerja aktif bahkan budak dari negara
asing di Indonesia. Bodohlah Indonesia jika tidak mampu mengatakan kemandirian
sebagai Indonesia sejati.
Penarikan lain oleh
para kapitalis asing di Indonesia adalah semakin berlimpahnya sumber daya alam.
Bukan hanya dilihat Indonesia negara baru berkembang tetapi memang ada
gula-gula yang mesti dimimis habis-habisan oleh perusahan asing di Indonesia. Padahal
segala sumber alam di bawa keluar Indonesia, rakyatnya menderita dan diperbudak
oleh negara-negara asing sehingga Indonesia menjadi negara yang tergantung pada
negara asing. Negara Indonesia mesti ditekankan kepentingan utama bagi rakyat
untuk mencapai pada rakyat yang sejahtera dan mandiri. Bukan mendatangkan
perusahan asing yang memperbudak rakyatnya dari kepentingan negara lain di
Indonesia. Pemerintah Indonesia juga jangan keliru dan salah pikir dengan
kehadiran perusahan asing akan menjamin kesejahteraan bersama bagi rakyat di Indonesia.
Dengan demikian, semangat
pelayanan merupakan unsur fundamental dalam menjalankan kekuasaan politik dan
kekuasaan pada rakyat Indonesia bukan mencari keenakan pribadi, keluarga, dan
kelompok. Kehadiran para politikus dan pengabdian negara pada rakyat mesti
ditekankan dan dimajukan agar cita-cita “bomun
commune” dicapai dan dirasakan dalam keterpurukan hidup dan kemiskinan yang
dialami oleh rakyat Indonesia pada zaman ini.
Penulis:
Mahasiswa pada STFT-Fajar Timur, Abepura-Papua