Senin, 14 Oktober 2013

SALAH KAPRAH POLITIK KEKUASAAN DI INDONESIA

0 komentar


Oleh Santon Tekege
 
Dalam realitas Indonesia memperlihatkan bahwa politik dimengerti sebagai sesuatu yang buruk, jijik, dan jahat. Karena memang ada banyak praktek politik yang kurang baik diperlihatkan oleh pihak-pihak pemegang politik kekuasaan di Indonesia. Padahal politik kekuasaan itu pada dasarnya sangat baik jika digunakannya demi kepentingan bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama “Bonum Commune” oleh Pastor Fransiskus Katino, Pr (Dosen Pengajar Teologi Politik, pada Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi “Fajar Timur”, Abepura-Papua) sejak 30 September 2013. Namun salah kaprah oleh para penguasa karena tidak memikirkan akan kesejahteraan bersama “bonum commune” bagi rakyat Indonesia, justru karena itu keterpurukan hidup dan kemiskinan menjadi isu harian di Indonesia. Hal ini muncul karena politik dijadikan sebagai permainan politik untuk berkuasa. Bahkan untuk mencari kepentingan diri, keluarga pejabat dan wakil rakyat Indonesia alias bukan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” melainkan kenyamanan sosial bagi seluruh keluarga pejabat dan wakil rakyat Indonesia. Cita-cita luhur Pancasila, sila ke-5 dikhianati oleh para pemegang kekuasaan politik di Indonesia. Kalau demikian, di mana posisi rakyat jelata Indonesia?
Politik Indonesia sangat dominan dimainkan dengan pendekatan kekuasaan. Kekuasaannya itu sering digunakan untuk mencaplok demi kepentingannya sendiri, keluarga dan kelompoknya. Pemegang kekuasaan Indonesia sering mencari kenyamanan sosial bagi seluruh pejabat keluarganya dan wakil rakyat Indonesia. Sementara warganya menderita, penuh jeritan dan tangisan di Indonesia. Pada posisi ini, pemerintah Indonesia buta melihat jeritan warganya alias ikan cakalang pasar senen Jakarta “Matanya terbuka lebar, tetapi tidak melihat”, dan pemerintah Indonesia buta mendengar alias orang tuli di Jakarta kota “Kuping telinga terbuka besar tetapi tidak mendengar”. Gelar ini sangat cocok dan boleh dipakaikan bagi pemerintah Indonesia notabene pemegang politik dan kekuasaan pada negaranya.
                           
Politik sebagai Panggilan Manusia
Politik sebagai panggilan setiap warga Indonesia. Karena itu, kita dipanggil untuk mengusahakan prinsip universal bersama yakni “Bonum Commune”. Kita dipanggil untuk peka mengganapi perubahan-perubahan yang terjadi, misalnya penyakit-penyakit sosial yang berkaitan dengan kemiskinan, diskriminasi, korupsi, pelecehan hak-hak asasi manusia dan pengangguran. Semua ini bertolak belakang dan meniadakan prinsip umum sehingga politik sebagai perutusan bagi manusia, sangat kurang diperlihatkan di Indonesia. Padahal gagasan perutusan ini menjadi prinsip dasar dalam menanggapi situasi penyakit sosial di Indonesia.
Politik bukan lagi dilihat sebagai panggilan manusia melainkan tempat untuk mencari popularitas diri, kepentingan diri, dan keluarga. Hal ini mesti ditiadakan dan menekankan pada panggilan manusia untuk mengusahakan kesejahteraan bersama khususnya dalam keterpurukan hidup dan kemiskinan rakyatnya yang sengaja dibiarkan oleh pemerintah Indonesia. Kalau memang kesengajaan dibiarkan rakyatnya menderita, dan hidup dalam keterpurukan, untuk apa adanya negara Indonesia? Maka itu, kita sebagai warga Indonesia dipanggil untuk terlibat aktif dalam khanca politik bukan politik dilihat sebagai kotor, jijik dan jahat. Namun kita dipanggil untuk memperluas prinsip-prinsip dasar setiap agama dan budaya di Indonesia. Bukan untuk bermain dengan segala cara dan gaya untuk meniadakan prinsip-prinsip universal yang di ada di Indonesia.
Dasar keterlibatan setiap kita dalam politik terletak dalam tujuan membangun “bonum commune”. Membangun masyarakat atau komunitas yang lebih baik merupakan agenda bersama dan utama dalam sebuah negara. Orang yang terlibat dalam politik mesti mengusahakan tujuan atau arah sebuah negara untuk rakyat yang makmur dan sejahtera. Walau demikian, kenyataan Indonesia tidak memperlihatkan tujuan membangun masyarakat yang sejahtera “bonum commune” karena di sana orang mencari keuntungan pribadi, kepentingan keluarga diutamakan, dan kepentingan kelompok selalu ditekankan setiap saat, padahal sangatlah keliru dan melenceng dari tujuan awal sebuah negara. Dalam konteks seperti ini, setiap kita dipanggil untuk membangun dan mengusahakan masyarakat yang lebih baik, aman dan damai tanpa adanya penyakit-penyakit sosial di negara ini.

Politik untuk Kekuasaan di Indonesia
Di zaman filsuf Plato dan Aristoteles, politik merupakan ruang publik dimana setiap warga bebas yang berasal dari berbagai macam bidang boleh datang untuk terlibat. Secara praktisnya politik dapat dipahami sebagai seni mengatur dan mengurus Negara. Namun ketika seni mengurus Negara mencakup kebijakan atau tindakan dalam urusan kenegaraan terhadap rakyatnya, maka seni kepengurusan tersebut mau tidak mau melibatkan banyak warga masyarakat yang bebas. Karena itu, Plato maupun Aristoteles mengusulkan agar politik berjalan dengan prinsip keadilan. Di sini sangat jelas bahwa kedua filsuf dapat memikirkan dalam lapangan terbuka dimana setiap orang yang bebas datang berdiskusi tersebut memiliki motif yang jelas politik memiliki orientasi pada kepentingan bersama. Inilah semangat dasar dari praktek politik bukan mencari kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok melainkan mewujudkan cita-cita awal yakni mengusahakan kesejahteraan umum. Namun ketika cita-cita itu dikhianati dan dihancurkan demi kepntingan dan kekuasaan diri, keluarga dan kelompok, maka muncullah berbagai kecurangan dan manipulasi prinsip-prinsip universal yang pada gilirannya menjadikan wajah praktik politik itu menjadi kusam “bdk.Mikhael Dua (ed), Politik Katolik: Politik Kebaikan Bersama, Jakarta: Obor 2008, hal. 257”.
Dalam realitas sosial memperlihatkan bahwa negara ini penuh dengan berbagai penyakit sosial, misalkan kecurangan dan manipulasi, korupsi dan pelecehan terhadap martabat manusia alias warganya. Dikarenakan orientasinya selalu pada kepentingan diri, keluarga dan kelompok, orang selalu mencari berlindung pada ketidaksetiaan, mencari keenakan pribadi dan keluarganya, selalu mencari kenikmatan pada setiap kesempatan, adanya pemalsuan dengan segala cara, pemborosan berbagai dana demi kekuasaan dan kepentingan politiknya, dan menggunakan kekuasaan untuk menguasai rakyat Indonesia. Karena itu, tidak diperlihatkan rasa sebagai warga Indonesia tulen, tidak adanya semangat pelayanan dan pengabdian pada warga Indonesia, hilangnya nilai solidaritas sebagai warga Indonesia, dan bahkan meniadakan kepentingan seluruh rakyat Indonesia karena dirakusi oleh kepentingan politik dan kekuasaan yang merajai di Indonesia.
Indonesia dengan kepentingan politik dan kekuasaannya tanpa memikirkan dampak rugi dan untung beberapa puluh tahun ke depan, pemerintah mencanankan 1 juta hektar hutan untuk perusahan kelapa sawit di Indonesia “hutan Kalimantan dan Papua menjadi makanan para kapitalis asing dunia”. Para kapitalis memegang peran penting di Indonesia. Indonesia telah membuka pintu lebar bagi kaum kapitalis untuk mengembangkan perusahannya di Indonesia. Alasannya Indonesia negara baru berkembang sehingga siapa pun pemodal bisa mempengaruhi pemerintahan di Indonesia. Imbasnya adalah rakyat menjadi pekerja aktif bahkan budak dari negara asing di Indonesia. Bodohlah Indonesia jika tidak mampu mengatakan kemandirian sebagai Indonesia sejati.
Penarikan lain oleh para kapitalis asing di Indonesia adalah semakin berlimpahnya sumber daya alam. Bukan hanya dilihat Indonesia negara baru berkembang tetapi memang ada gula-gula yang mesti dimimis habis-habisan oleh perusahan asing di Indonesia. Padahal segala sumber alam di bawa keluar Indonesia, rakyatnya menderita dan diperbudak oleh negara-negara asing sehingga Indonesia menjadi negara yang tergantung pada negara asing. Negara Indonesia mesti ditekankan kepentingan utama bagi rakyat untuk mencapai pada rakyat yang sejahtera dan mandiri. Bukan mendatangkan perusahan asing yang memperbudak rakyatnya dari kepentingan negara lain di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga jangan keliru dan salah pikir dengan kehadiran perusahan asing akan menjamin kesejahteraan bersama bagi rakyat di Indonesia.
Dengan demikian, semangat pelayanan merupakan unsur fundamental dalam menjalankan kekuasaan politik dan kekuasaan pada rakyat Indonesia bukan mencari keenakan pribadi, keluarga, dan kelompok. Kehadiran para politikus dan pengabdian negara pada rakyat mesti ditekankan dan dimajukan agar cita-cita “bomun commune” dicapai dan dirasakan dalam keterpurukan hidup dan kemiskinan yang dialami oleh rakyat Indonesia pada zaman ini.



Penulis: Mahasiswa pada STFT-Fajar Timur, Abepura-Papua

PAPUAN POLITICAL PRISONER REJECT OFFER OF INDONESIA GOVERMENT FOR AMNESTY

0 komentar

Papuan political prisoners reject offer of Indonesian Government for amnesty


The bid by the Indonesian Government through the Ministry of Law and Human Rights, to grant amnesty for some political prisoners in Papua was rejected by political prisoners at Abepura penitentiary.
  
The Papuan political prisoners’ statement which was signed by 25 political prisoners serving sentences in Abepura prison stated the following: “We reject the plan granting clemency by the President of the Republic of Indonesia.”


This statement, received by Jubi on Friday (24/05) reinforces the position of these political prisoners: they themselves do not need to be released from prison, but they demand the release of the people of West Papua from the colonial occupation by the Indonesian Republic.

A few hours earlier, the Minister of Law and Human Rights, Amir Syamsuddin, had conveyed to journalists at the Parliament Building in Jakarta that amnesty would be granted to political prisoners in Papua.
“We are considering the granting of amnesty for political prisoners, because of the political background, especially the situation in Papua,” said Law Minister Amir Syamsuddin.

The 25 political prisoners who rejected the amnesty offer by the Indonesian Government are:
1. Filep J.S. Karma
2. Victor F Yeimo
3. Selpius Bobii
4. A. Makbrawen Sananay Krasar
5. Dominikus Sarabut
6. Beni Teno
7. Alex Makabori
8. Nico D. Sosomar
9. Petrus Nerotou
10. Denny I Hisage
11. Dago Ronald Gobai
12. Jefry Wandikbo
13. Mathan Klembiab
14. Rendy W. Wetipo
15. Boas Gombo
16. Jhon Pekei
17. Oliken giyai
18. Panus Kogoya
19. Warsel Asso
20. Yunias Itlay
21. Timur Waker
22. Kondison Jikibalom
23. Serko Itlay
24. Japrai Murib
25. Yulianus Wenda

In Papua, until last April, according to the UK-based NGO, Tapol, there are around 40 political prisoners scattered in several prisons in Papua and West Papua. 

Six Political Prisoners in Timika Refuse Plan Clemency for Political Prisoners in Papua 
We the undersigned are six KNPB Timika area activist who is serving a sentence in Timika prison, stated unequivocally that the President of the Republic Indonesia: 
  1.  Firmly reject the Plan Granting Clemency for All Political Prisoners in Papua.   
  2.  Six Prisoners politic in Timika which is serving will not receive a pardon if granted 
  3. We insist that the Papuan People's Immediate Release of Homeland grip. 
Political prisoners attitude thus being detained in prisons class II B, Timika, Papua,  

Timika, May 25, 2013 

Romario Yatipai 
Stevanus Itlay 
Yakonias Womsiwor 
Alfred Marsyom 
Paulus Marsyom  
Yanto Awerkion 

PAUS FRANSISKUS: IMAN BUKAN HIASAN TETAPI KEKUATAN JIWA

0 komentar

Paus: Iman bukan hiasan tapi kekuatan jiwa


Paus: Iman bukan hiasan tapi kekuatan jiwa thumbnail 19/08/2013

Paus Fransiskus  pada hari Minggu menegaskan kembali seruannya untuk perdamaian terkait krisis yang sedang berlangsung di Mesir dengan mengajak semua pihak terus berdoa bersama bagi perdamaian di Mesir.
Selain itu Bapa Suci juga mengenang orang-orang yang tewas dalam tabrakkan Kapal Feri  di Filipina pekan  ini dan berdoa untuk keluarga yang berduka.
Paus berbicara menyusul doa Angelus dari apartemen Kepausan di Lapangan Santo Petrus.
Selama doa Angelusnya, Paus Fransiskus mengambil bacaan Injil hari Minggu.
Dia menjelaskan bahwa perikop yang terdapat dalam Surat Ibrani: “”Marilah kita berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang terbentang di hadapan kita sambil menjaga mata kita tertuju pada Yesus”, adalah sebuah ungkapan yang harus kita tekankan terutama di Tahun Iman ini.
Paus mengatakan bahwa Yesus adalah kunci untuk hubungan yang penuh kasih dengan Allah. Dia adalah satu-satunya pengantara hubungan di antara kita dan Bapa kita di surga.
Bapa Suci kemudian mengalihkan perhatian ke perikop lain dalam liturgi hari Minggu, yang menurutnya perlu dijelaskan agar tidak menimbulkan kebingungan atau kesalahpahaman.
Paus Fransiskus  mengacu pada kata-kata yang Yesus berbicara kepada para murid-Nya “kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan” (Luk 12:51).
“Tapi, apa artinya ini?” tanya Paus.
Dia menjelaskan bahwa “itu berarti bahwa iman bukan merupakan hiasan, tidak ada untuk menghiasi hidup Anda dengan sedikit ‘beragama.” Tidak, iman, kata Paus Fransiskus, memilih Allah sebagai pusat kehidupan seseorang, seraya menambahkan bahwa Allah tidak kosong, ia tidak netral, Allah adalah kasih.
Yesus, lanjut Paus Fransiskus  tidak ingin memisahkan orang-orang satu sama lain, sebaliknya, Yesus adalah damai kita. Tapi, dia menetapkan kriteria: hidup untuk diri sendiri, atau hidup untuk Allah.
Jadi, kata Paus, “kata Injil tidak mengizinkan penggunaan kekuatan untuk menyebarkan iman. Ini ‘justru sebaliknya:  kekuatan sejati orang Kristen adalah kekuatan kebenaran dan kasih, yang mengarah ke penolakan dari kekerasan “Iman dan kekerasan tidak dapat didamaikan”.
Pada akhir pidatonya, Bapa Suci lagi menekankan bahwa iman bukan merupakan sebuah hiasan tetapi kekuatan jiwa.
Sumber: radiovaticana.va

Sabtu, 14 September 2013

WEST PAPUA CELEBRATE ARRIVAL OF SACRED WATER AND FIRE, SINCE 14 SEPTEMBER 2013

0 komentar

West Papuans celebrate arrival of sacred water and fire


West Papuans celebrate arrival of sacred water and fire, despite intimidation by Indonesian military
Media release
14 September 2013 

A number of events took place across West Papua today to celebrate the arrival of sacred water and fire from the Freedom Flotilla.
In the port city of Marauke, a planned community event which was to be attended by 17 tribes from around the region was stymied by authorities. The head of police and five intelligence officers hand delivered a letter to one of the organisers prohibiting any ceremonies for the reception of the Freedom Flotilla. Police and intelligence officers stationed themselves around the house of the organiser this morning, preventing it from taking place.
“The town was crippled by the combined forces of navy, police, State Intelligence Agency (BIN,) Kopasus and military who monitored the movement of ordinary people and the Flotilla organisers throughout the day.  Plan B was to escape in few vehicles to a safe location and travel by boat for few kilometres to a nearby beach and this is where the sacred ceremony was carried out,” explained Ronnie Kareni
Jhon Wog, chairmen of the Freedom Flotilla welcoming committee and elder of the Marin Tribe in Merauke, said "In a sacred site near Marauke, I released a canoe to sail out to meet the Flotilla boat as a symbol of connecting the spirit of our ancestors. Thank God for Uncle Kevin Buzzacott, who already brought our ancestral spirit back to reconnect us with the land and hope for our struggle for independence."

In nearby Fak Fak, an estimated 400-600 people undertook a long march to highlight ongoing human rights abuses against the people of West Papua. The arrival of the water and fire was also celebrated by hundreds yesterday in Manokwari with traditional dances and prayer.
"The people of West Papua express our gratitude to the Indigenous Elders, Kevin Buzzacott, human rights activists, musicians, artists, and others on the Freedom Flotilla who have raised their voices for peace and justice in West Papua,” said West Papuan activist Awom Eliezer.
The sacred water from Lake Eyre in central Australia and ashes from Aboriginal tent embassies had been delivered by the Freedom Flotilla in a clandestine cultural exchange between indigenous elders of Australia and West Papua.  They will be passed from tribe to tribe throughout West Papua to spread the message of hope and continue the struggle for freedom.
The crackdown by authorities today follows the events of the 28th of August, where four people were arrested and charged with treason for raising the banned Morning Star flag after a prayer meeting in support of the Freedom Flotilla.
ENDS

Jumat, 14 Juni 2013

Press Release: Rize the Morning Star Campaign in Melbourne

0 komentar
Press Release – Rize of the Morning Star Campaign
West Papuans Reject Australian Foreign Minister’s Claim That Their Independence Movement Is A Cruel Deceit’ By ‘Self-indulgent PeopleWest Papuans Reject Australian Foreign Minister’s Claim That Their Independence Movement Is ‘A Cruel Deceit’ By ‘Self-indulgent People’
West Papuan Independence advocate, Ronny Kareni, who is based in Melbourne, rejects the Australian Foreign Minister’s comments in Senate Estimates last week, that the people who ‘fly the Papuan flags’ and who ‘talk the language of independence’ are part of a ‘cruel deceit’ by ‘self-indulgent people’ who are safe in their ‘own democracy’.
“For the last 50 years, the struggle has been driven by the Papuans themselves putting their life on the frontline in West Papua and abroad, campaigning against the entrenched brutality by Indonesian security forces” says Ronny Kareni.
“We build solidarity with groups in Australia and abroad but this movement was initiated and is primarily driven by West Papuans in West Papua – who seek an end to the human rights abuses and recognition of their political rights to self-determination.”
West Papua was illegally occupied in December1961 as part of the Indonesian military operation ‘Trikora”, which aimed to seize the former Dutch colony ‘Netherlands New Guinea’. West Papua’s independence was denied by the UN. The UN subsequently granted Indonesia administration of the the region and Indonesia ultimately gained full control in 1969, after the referendum named ‘Act of free choice’. Despite this being widely criticised as a sham vote that contravenes international law. “I was born into this conflict, I’m the 3rd generation to face this ongoing struggle for our rights for freedom.” says Kareni
“My parents were forced to flee and live in exile in Papua New Guinea in the early 80s as part of the large exodus of West Papuans. It was and remains very dangerous for West Papuans to peacefully campaign for their human rights and political rights- even raising our Morning Star flag can mean between 3-15 years in prison.”
It is estimated that 500,000 Papuans have been killed since Indonesia took control. Yale University and Sydney University researches have questioned whether this constitutes genocide.
“The West Papuan’s struggle for freedom is not as Bob Carr suggests ‘a fun little game for the greens party’. It is the West Papuans living in Papua and in exile who are carrying the aspirations for our own people. We ask the international community, Indigenous people in Australia and the Australian politicians to hear the voice of the West Papuans and support us in our struggle.”
“I find the Foreign Minister’s comments are discriminatory to the West Papauns, as he implies that it is simply ‘self-indulgent’ people in ‘safe democracies’ that are leading this struggle for independence. This is disrespectful of our fight for freedom for the last 50 years. Everyday West Papuans risk their lives in Papua and abroad. Even those of us involved in the independence movement abroad are monitored by the Indonesian intelligence.”
“We call on the people of Australia to put pressure on the Australian government to review it’s funding and training of Detachment 88 who are alleged to have committed widespread violence and arbitrary detention of Papuans who peacefully express their political views for independence.”
“Providing access to independent foreign media and a UN fact finding mission is vital so that the international community really knows what’s happening in West Papua.”
ENDS

Jumat, 24 Mei 2013

PRESIDEN INDONESIA (SBY) MENGABAIKAN SERUAN AGAMAWAN INDONESIA

0 komentar

Presiden SBY abaikan seruan agamawan

24/05/2013 Presiden SBY abaikan seruan agamawan thumbnail

Komunitas masyarakat sipil yang terdiri dari kaum agamawan dan rohaniwan, aktivis, dan penggiat hak asasi manusia, Kamis (25/5), kembali menyatakan penolakannya terhadap penghargaan yang diberikan Appeal of Conscience Foundation (ACF) terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka juga mendesak presiden untuk menolak pemberian penghargaan tersebut.
AFC adalah organisasi yang giat mempromosikan perdamaian, demokrasi, toleransi, dan dialog antarkepercayaan yang berbasis di New York, Amerika Serikat. Mereka memberi penghargaan terhadap Presiden Yudhoyono atas kontribusinya dalam demokratisasi dan rekonsiliasi konflik di Tanah Air.
Komunitas masyarakat sipil di Indonesia menolak penghargaan ini karena sama sekali tidak mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Air di bawah kepemimpinan Yudhoyono.
Setara menggelar acara penolakan penghargaan tersebut di Jakarta kemarin. Sejumlah tokoh dan aktivis HAM hadir dalam acara tersebut, antara lain Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Musdah Mulia, Allisa Wahid, dan Jallaluddin Rakhmat.
“Presiden Yudhoyono seharusnya merefleksikan rencana pemberian penghargaan kepada dirinya. Apakah pantas atau tidak menerima penghargaan tersebut? Sebab bila dia menerima penghargaan itu, banyak konsekuensi yang harus ditanggung dan dijalankannya,” kata Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute, Romo Antonius Benny Susetyo kepada SH, Kamis.
Menurut Romo Benny, bila presiden pada akhirnya menerima penghargaan itu maka harus berani menegakkan hukum terhadap para pelaku kekerasan di Tanah Air. Bila Presiden Yudhoyono tidak mampu menegakkan hukum yang berlandaskan konstitusi maka presiden sebaiknya menolak pemberian penghargaan itu.
Sebelumnya tokoh cendekiawan dan rohaniwan dari Sekolah Tinggi Filsafat Diyarkara, Romo Franz Magnis Suseno SJ, telah terlebih dulu menyatakan protesnya dengan melayangkan surat ke AFC. Surat dikirim ke ACF melalui e-mail pada Rabu (15/5), segera setelah ia mengetahui rencana pemberian penghargaan itu dari media.
Ia tidak memprotes soal penghargaan kepada seorang presiden, tapi lebih kepada esensi bahwa penghargaan yang diberikan itu berkaitan dengan upaya memajukan toleransi di Indonesia. Menurutnya, selama 10 tahun reformasi, toleransi keagamaan di Indonesia berkurang.
Dalam suratnya, Magnis menulis, penghargaan itu hanya akan membuat malu ACF. Menurut Magnis, selama 8,5 tahun kepemimpinan Presiden Yudhoyono, kaum minoritas Indonesia justru berada dalam situasi tertekan. Presiden bahkan tidak pernah memberikan seruan kepada rakyatnya untuk menghormati hak-hak kaum minoritas. Kekerasan terhadap kelompok minoritas, termasuk Ahmadiyah dan Syiah, terus terjadi.
“Pemerintah tidak melakukan upaya perlindungan apa pun terhadap para korban konflik kekerasan itu,” ungkap Magnis kepada SH, Kamis ini.
Romo Magnis juga mengatakan, selain persoalan yang dihadapi oleh jemaah Ahmadiyah dan Syiah, hingga kini jumlah gereja yang ditutup juga meningkat; juga tentang persoalan kesulitan bagi warga Kristen untuk memperoleh izin mendirikan tempat ibadah, serta banyaknya peraturan untuk sekadar melakukan kebaktian secara terbuka.
Tetap Berangkat
Namun di tengah protes ini, Presiden Yudhoyono dipastikan tetap akan berangkat ke AS untuk menerima penghargaan tersebut. “Sejauh ini tidak ada perubahan yang saya dengar,” kata Juru Bicara Istana Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, Kamis.
Menurut Julian, hal itu dilakukan presiden sejalan dengan agenda membahas Millenium Development Goals (MDGs) 2015 di AS.”Presiden SBY ke AS akhir Mei 2013 untuk menyerahkan hasil akhir pembahasan agenda High Level Panel Post MDGs 2015,” jelasnya.
Sumber: Sinar harapan

PEMERINTAH INDONESIA DINILAI BIARKAN PELANGGARAN HAM INDONESIA DAN DI PAPUA

0 komentar

DESMON TUTU: PEJUANG KEADILAN DI DUNIA MENDAPAT PENGHARGAAN TEMPLETON DI LONDON

0 komentar

Archbishop Emeritus Desmond Tutu at the Templeton Prize celebration at St. George’s Cathedral in Cape Town on April 11, 2013.
(Photo credit: Templeton Prize: / Karen Marshall)

DUNIA

Desmond Tutu Pejuang Keadilan

Desmond Tutu mendapat penghargaan Templeton di London Selasa (21/05/13). Warga Afrika Selatan yang berusia 81 tahun itu mendapat penghargaan karena "upaya menyokong kasih dan pengampunan".
Dengan upayanya, Desmond Tutu membantu gerakan pembebasan di seluruh dunia. Demikian alasan pemberian penghargaan tersebut. Tutu terkejut ketika mendengar keputusan yang diambil awal April itu.
Ia memberikan reaksi demikian: "Jika kamu lebih tinggi daripada orang lain, itu biasanya karena orang-orang lain menggendongmu di bahunya."
Uskup, perantara perdamaian dan pejuang keadilan sosial Desmond Tutu sudah memegang berbagai peran dalam hidupnya. Awal tahun 80-an ia terkenal karena melawan rezim Apartheid di Afrika Selatan. Tutu sering mengecam ketidakadilan, tanpa membangkitkan kebencian. Misalnya Februari 1991. Setelah tekanan puluhan tahun atas penduduk berkulit hitam, Presiden de Klerk membebaskan sejumlah tahanan politik, seperti Nelson Mandela, dan mengijinkan berdirinya partai dan organisasi.
Tapi perundingan untuk reformasi demokrasi mandek. Ketika politisi dan pejuang kebebasan Chris Hani dibunuh seorang warga radikal kanan, perang saudara hampir terjadi. Tutu menyerukan "Kita akan bebas! Kita semua - kulit hitam dan putih bersama-sama!" Itu diserukan Desmond Tutu saat pemakaman Chris Hani di depan lebih dari 100.000 orang. Di saat-saat sulit seperti ini, Tutu menunjukkan kekuatannya.
Dari Guru Menjadi Uskup Pertama Berkulit Hitam di Afrika Selatan
Demond Tutu lahir 1931 di Klerksdorp. Dulu ia menjadi guru. Ketika pemerintah memutuskan, murid berkulit putih harus mendapat pendidikan lebih baik daripada yang berkulit putih, Tutu berhenti jadi guru, dan beralih ke dunia teologi. Ia kemudian menjadi uskup gereja Anglikan pertama di Johannesburg yang berkulit hitam, kemudian jadi uskup Cape Town.
Di dunia politik ia selalu memerangi pemisahan berdasarkan ras. Secara terbuka ia bersimpati dengan tujuan yang ingin dicapai partai Nelson Mandela, Kongres Nasional Afrika (ANC).
Archbishop Emeritus Desmond Tutu with members of the Cape Town Opera Voice of the Nation Ensemble, at the Templeton Prize celebration at St. George’s Cathedral in Cape Town on April 11, 2013.
(Photo credit: Templeton Prize: / Ilan Godfrey)Desmond Tutu bersama anggota kelompok musik Cape Town Opera Voice of the Nation Ensemble, dalam acara perayaan setelah ada keputusan ia mendapat penghargaan Templeton, di Katedral St. George di Cape Town (11/04/13)
Perdamaian, Bukan Balas Dendam
Juga setelah Apartheid dihapuskan, Tutu tidak menarik diri dari kancah politik. Presiden Nelson Mandela memintanya untuk memimpin komisi kebenaran dan perdamaian, yang bertugas meneliti kejahatan di masa Apartheid. Tutu dan komisi itu ingin menemukan jalan tengah antara keadilan dan amnesti, serta menuntut perdamaian dan pemberian maaf.
Setelah itu Tutu masih memerangi ketidakadilan di dunia, tanpa mengindahkan penguasa. Ia menuduh Tony Blair dan George W. Bush menggunakan kebohongan untuk memulai perang. Menurutnya, kedua politisi itu harus dihadapkan ke Pengadilan Pidana di Den Haag. Ia kerap menunjuk pada persamaan antara Apartheid di Afrika Selatan dan diskriminasi warga Palestina oleh Israel. Ia juga mengutuk pendudukan wilayah Palestina.
Suara Kuat Menentang Ketidakadilan
Tutu masih tetap menjadi pengamat kritis partai pemerintah, mengamati hubungan dengan rejim otoriter di Zimbabwe, pemberantasan AIDS yang berjalan terseok-seok dan elit politik yang dibayar terlalu tinggi. Memilih ANC, menurut Tutu, bukan sesuatu yang otomatis lagi. Orang mengajukan pertanyaan, dan itu bagus.
Untuk jasanya dalam perjuangan terhadap Apartheid tanpa kekerasan, Desmond Tutu mendapat Hadiah Nobel tahun 1984. Ia juga pernah mendapat penghargaan Martin Luther King, penghargaan perdamaian Gandhi, dan penghargaan lainnya. Penghargaan Templeton diberikan bagi mereka yang dengan cara istimewa memperkuat pentingnya spiritualitas dalam hidup manusia. Penghargaan ini tidak diberikan berdasarkan agama seseorang.

Bernada SARA, Komnas HAM Kecam Pernyataan Dipo Alam

0 komentar

Bernada SARA, Komnas HAM kecam pernyataan Dipo Alam

24/05/2013 Bernada SARA, Komnas HAM kecam pernyataan Dipo Alam thumbnail

Komnas HAM berencana memanggil Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam terkait ucapannya yang berbau SARA terhadap Romo Franz Magnis Suseno SJ.
Ketua Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Pelanggaran HAM, Komnas HAM, Natalius Pigai menyatakan pihaknya mengecam keras kritikan Dipo yang mengobarkan sentimen Islam dan non-Islam yang ditulis melalui akun Twitter.
“Kami akan memanggil Dipo Alam minggu depan untuk mengkarifikasi atas pernyataannya,” katanya dalam keterangan persnya, Kamis (23/5), seperti dilansir metrotvnews.com.
Pigai merujuk pernyataan Dipo Alam di Twitter yang menyebutkan “Masalah khilafiyah antarumat Islam di Indonesia begitu banyak, jangan dibesarkan oleh yang non-Muslim seolah simpati minoritas diabaikan,” kicau Dipo. “Umaro, ulama dan umat Islam di Indonesia secara umum sudah baik, mari liat ke depan, tidak baik pimpinannya dicerca oleh yang non-Muslim FMS.”
Ia menyebutkan, apabila pernyataan tersebut benar adanya maka pihaknya akan menyelidiki Dipo Alam dengan UU No.40/2008 tentang Pengawasan Diskriminasi Ras dan Etnik dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. “UU tersebut merupakan kewenangan Komnas HAM,” tegasnya.
Menurut Pigai, sejak awal dirinya telah menyampaikan kritikan atas pemberian penghargaan kepada SBY dari lembaga Amerika Serikat The Appeal of Conscience Foundation karena tidak sesuai dengan fakta.
Di bawah kepemimpinan SBY, pemerintah dianggap abai terhadap kekerasan terhadap kaum minoritas di Indonesia.
“Intoleransi agama di Indonesia tumbuh subur bahkan terkesan dibiarkan oleh penguasa,” ujarnya.

Rabu, 15 Mei 2013

KONGRES AS AKAN BAHAS PRAKTEK HAM DI INDONESIA TERUTAMA DI PAPUA

0 komentar

James P. McGovern, anggota Kongres AS

Militer dan polisi Indonesia masih mempertahankan cara-cara impunitas di beberapa provinsi, terutama di Papua.

Kongres AS, terkait perkembangan demokrasi di Indonesia, merasa perlu membahas situasi HAM di Indonesia belakangan ini. Anggota Kongres akan menyelenggarakan sidang dengar pendapat (hearing) publik, untuk meninjau situasi hak asasi manusia di Indonesia dan kebijakan luar negeri AS berkaitan dengan pemilihan presiden dan parlemen di Indonesia pada tahun 2014. Hearing ini, sebagaimana rilis Komisi HAM Kongres AS akan diselenggarakan pada Hari Kamis, 23 Mei 2013 di Washington.

James P. McGovern, anggota Kongres AS, dalam rilis Komisi HAM Kongres AS tersebut mengatakan sistem politik Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat besar, termasuk desentralisasi signifikan kekuasaan kepada pemerintah daerah dan berkurangnya peran militer dalam urusan dalam negeri dan keamanan dalam negeri. Dalam konteks ini, perlindungan hak asasi manusia umumnya telah meningkat, termasuk di daerah dengan sejarah gerakan separatis seperti Aceh. Organisasi non-pemerintah juga telah berkembang, dan banyak orang Indonesia sekarang melihat demokrasi sebagai bagian dari identitas nasional mereka. Meskipun demikian, situasi hak asasi manusia di Indonesia membutuhkan lebih banyak kemajuan.

“Militer dan polisi Indonesia masih mempertahankan cara-cara impunitas di beberapa provinsi, terutama di Papua. Laporan tentang praktek HAM di Indonesia selama tahun 2012 menunjukkan adanya kasus pembunuhan di luar hukum, penangkapan sewenang-wenang dan penahanan, penyiksaan antara Juli 2011 dan Juni 2012 dan pembatasan kebebasan berekspresi, masih terjadi di Papua.” kata anggota Kongres AS ini.

John Sifton (Direktur Advokasi Asia, Human Rights Watch), T. Kumar (Direktur Advokasi Internasional, Amnesty International USA) Sri Suparyati (Wakil Koordinator KontraS) dan Octovianus Mote (Universitas Yale Law School Fellow) akan memberikan kesaksian dalam hearing ini.
Hearing yang terbuka untuk umum ini, juga akan membahas isu intoleransi agama yang terwujud dalam intimidasi dan kekerasan terhadap beberapa kelompok agama, seperti Komunitas Ahmadiyah dan masyarakat Kristen di Jawa Barat.

Laporan AS

Kamis, 02 Mei 2013

GENEWA NEWS: Pillay, Concerned about Persistent Violence an Abuses in Papua (Indonesia) since March and May 1, 2013

0 komentar
Pillay concerned about persistent violence and abuses in Papua (Indonesia)

GENEVA (2 May 2013) – The UN High Commissioner for Human Rights Navi Pillay on Thursday expressed serious concerns over the crackdown on mass demonstrations across Papua since 30 April, with police reportedly using excessive force and arresting people for raising pro-independence flags.
“These latest incidents are unfortunate examples of the ongoing suppression of freedom of expression and excessive use of force in Papua,” Pillay said. “I urge the Government of Indonesia to allow peaceful protest and hold accountable those involved in abuses.”
Reports indicate that on 30 April police shot and killed two protesters in the city of Sorong who were preparing to mark the 50th anniversary of Papua becoming a part of Indonesia. At least 20 protesters were arrested in the cities of Biak and Timika on 1 May.
“After my official visit to Indonesia last November, I am disappointed to see violence and abuses continuing in Papua,” Pillay said. She added that there was a need for coherent policies and actions to address the underlying concerns and grievances of the local population in Papua.
Since May 2012, we have received 26 reports concerning alleged human rights violations, including 45 killings and cases of torture involving 27 people. While many incidents relate to communal violence, serious allegations of human rights abuses by law enforcement officials persist.
“International human rights law requires the Government of Indonesia to conduct thorough, prompt and impartial investigations into the incidents of killings and torture and bring the perpetrators to justice,” said the High Commissioner.
“There has not been sufficient transparency in addressing serious human rights violations in Papua,” she said. “I urge Indonesia to allow international journalists into Papua and to facilitate visits by the Special Rapporteurs of the UN Human Rights Council.”
As of March 2013, at least 20 political prisoners remain in detention in Papua, including prominent activist Filep Karma. In May 2005, he was sentenced to 15 years in prison for treason after leading a ceremony to raise the West Papuan Flag. In 2011, the UN Working Group on Arbitrary Detention concluded that Mr. Karma’s detention was arbitrary and requested that the Government take all necessary steps to release and compensate him in accordance with the International Covenant on Civil and Political Rights to which Indonesia is party. So far, the Government has not complied with the request.
“During my mission to Indonesia last November, I expressed concern over Papuan activists being imprisoned for the peaceful exercise of freedom of expression,” Pillay said, reiterating that dissent is not a crime. “It is disappointing to see more people arrested for peacefully expressing their views and I call upon the Government to release all prisoners in custody for crimes that relate to their freedom of expression.”
The National Human Rights Commission, Komnas Ham, and the National Commission on Violence against Women, Komnas Perempuan, have consistently raised concerns regarding violence and freedom of expression in Papua and made concrete recommendations to the Government of Indonesia.
“I encourage the Government to implement the recommendations made by Komnas Ham and Komnas Perempuan,” the High Commissioner said, emphasizing the vital role these national institutions play in the protection of human rights in Indonesia. Pillay encouraged the Government to continue supporting them as independent bodies and to strengthen their financial support.
ENDS

Selasa, 30 April 2013

PAPUA MENGGUGAT ANEKSASI (Oleh Selpius Bobii: Ketua Umum Pusat Front Pepera Papua Barat)

0 komentar

Papua Menggugat Aneksasi

"PERNYATAAN Ketua Umum Front PEPERA PB Menyelang 50 Tahun Aneksasi Tanah Air, Bangsa dan Negara Papua ke dalam NKRI, 01 Mei 1963 - 01 Mei 2013"

Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 01 Mei 1963 adalah penyerahan kekuasaan adminitrasi pemerintahan Papua secara sepihak dari pangkuan UNTEA ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tanggal 01 Mei dipandang oleh Republik Indonesia (RI) sebagai hari integrasi Papua ke dalam NKRI. Atau sering juga para pejabat Indonesia, TNI dan Polri mengatakan bahwa 01 Mei 1963 adalah hari di mana Papua kembali ke pangkuan ibu pertiwi Indonesia.
Sejak kapan Papua menjadi bagian teritorial dari RI? Dan sejak kapan Papua keluar dari pangkuan NKRI, maka dikatakan bahwa pada tanggal 01 Mei 1963 Papua kembali ke pangkuan NKRI? Sejarah mencatat bahwa Papua belum pernah berada dalam pangkuan NKRI. Berikut ini ada beberapa fakta sejarah, antara lain:
pertama, Dalam suatu pertemuan untuk Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia Serikat (RIS), Mohammad Hatta menolak Papua masuk dalam teritorial RIS. Menurut Moh Hatta mengatakan bahwa tanah Papua sangat sulit dibangun karena dihuni oleh suku-suku primitif.
Kedua, pada tanggal 27 Desember 1949 dalam Komprensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda, Papua tidak termasuk dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam KMB itu Belanda hanya mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) dari Sabang sampai Amboina - Maluku. Tentang ini tertuang dalam naskah piagam penyerahan kedaulatan RIS dalam pasal dua yang disepakati dan ditanda-tangani oleh Belanda dan Indonesia. (Lihat di buku: "Tindakan Pilihan Bebas", P. J. Drooglever, halaman 178).
Ketiga, Karena pemisahan Indonesia dari kolonisasi Nederlands Indiche, maka konstitusi Belanda ditinjau kembali. Dalam Sidang Parlemen Belanda yang digelar di musim panas tahun 1951, mayoritas Parlemen Belanda menyetujui mengubah konstitusi Belanda. Dalam perubahan konstitusi itu, Papua ditingkatkan status kolonisasi Nederlands Niew Guinea (Papua Belanda). Jadi secara hukum dan politik Papua bukan lagi kolonisasi Nederlands Indiche, tetapi sejak tahun 1951 ditingkatkan status kolonisasi Nederlands Niew Guinea. (Lihihat, "Tindakan Pilihan Bebas", P. J. Drooglever, halaman 226-227).
Keempat, Belanda mulai mempersiapkan Papua untuk berdaulat penuh. Dalam rangka itu, persiapan Sumber Daya Manusia (SDM) bagi orang Papua menjadi prioritas utama, khususnya dalam bidang pendidikan dan pengkaderan, dan diikuti dengan pengembangan dan pemberdayaan dalam bidang ekonomi kerakyatan, kesehatan, dan lain-lain. (Lihat, Drooglever, halaman 323 - 387).
Kelima, Rakyat Papua membentuk beberapa partai Nasional Papua (Lihat, buku Drooglever halaman 549-562), dan menggelar pemilu untuk memilih wakil Dewan Kota dan Daerah, kemudian memilih Dewan Papua secara langsung oleh seluruh rakyat Papua. Dewan Papua (Niew Guinea Raad) dilantik pada tanggal 5 April 1961. (Lihat buku Drooglever, halaman 536-548; dan 563-569).
Keenam, para tokoh intelektual Papua mewakili seluruh Papua membentuk Komite Nasional Papua (KNP), dan KNP menggelar Kongres Papua Pertama pada tanggal 19 Oktober 1961 di Hollandia, kini Jayapura. Dalam kongres itu KNP menyatakan Manifesto Politik Bangsa Papua yang mana menetapkan Papua menjadi Bangsa Papua, Bendera: Bintang Fajar, Lambang: Burung Mabruk dan Lagu kebangsaan Papua: Hai Tanah ku Papua, serta Motto: Satu Rakyat Sejiwa (One People One Soul). (Lihat buku karya Drooglever, halaman 570-572).
Ketujuh, Manifesto Politik itu selanjutnya KNP secara resmi menyerahkan kepada Dewan Papua (Niew Guinea Raad) dalam Sidang Dewan Papua yang digelar pada tanggal 30 Oktober 1961. Dan Manifesto itu dibahas dan ditetapkan dalam keputusan Niew Guinea Raad (Dewan Papua). (Lihat buku karya Drooglever, halaman 572-573).
Kedelapan, Manifesto Politik Bangsa Papua, khususnya Lambang dan Bendera serta Lagu Kebangsaan Papua itu, atas perintah Ratu Yuliana, ditetapkan dalam ordonansi-ordonansi (peraturan-peraturan ketetapan) oleh wakil Belanda di Papua yakni Gubernur, Platteel pada tanggal 18 November 1961 setelah Rapat Luar Biasa Dewan Papua, (Lihat buku karya Drooglever, halaman 575).
Kesembilan, Puncaknya pada tanggal 01 Desember 1961 Merayakan Hari Kemerdekaan Bangsa Papua, disertai dengan mengibarkan bendera Bintang Fajar diiringi lagu kebangsaan, Hai Tanah ku Papua dan juga menaikan Bendera Belanda diiringgi lagu kebangsaan Belanda, Hyronimus di Hollandia (kini Jayapura), dan di semua ibu kota onderafdeling (kota dan daerah) di Nederlands Nieuw Guinea (Papua Belanda) pun merayakannya dalam bentuk upacara. Di mana-mana di tanah Papua hal itu terjadi di dalam suasana khidmat dan tenang dihadiri oleh penguasa-penguasa setempat. Perayaan ini disambut secara meriah oleh rakyat di seluruh pelosok tanah Papua sebagai hari kemerdekaan bangsa Papua, (Lihat Drooglever, halaman 575).
Inilah beberapa fakta sejarah bangsa Papua. Dengan demikian Papua tidak pernah menjadi salah satu wilayah teritorial dalam bingkai NKRI sebelum tanggal 01 Mei 1963. Karena itu, pernyataan para pejabat RI bahwa pada tanggal 01 Mei 1963 Papua kembali ke Pangkuan NKRI adalah tidak benar dan itu kebohongan publik, kebohongan intelektual dan kebohongan sejarah. Penyerahan Papua oleh UNTEA kepada RI pada tanggal 01 Mei 1963 itu pun dipercayakan kepada RI hanya untuk mempersiapkan pemilihan bebas bagi orang asli Papua untuk menentukan masa depan bangsanya.
Fakta-fakta sejarah bangsa Papua membuktikan bahwa kemederdekaan kedaulatan bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI. Sejak kapan bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI? Papua dianeksasi ke dalam NKRI melalui beberapa tahapan, yaitu:
Pertama, Maklumat Tri Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Soekarno, presiden RI pada tanggal 19 Desember 1961 di Alun-Alun Jakarta. Isi TRIKORA: 1) Bubarkan Negara boneka Papua buatan kolonial Belanda, 2) Kibarkan bendera merah putih di seluruh Irian Jaya (kini Papua) tanah air Indonesia, 3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum. Menurut Forkorus Yaboisembut, S. Pd dalam maklumat TRIKORA dalam point pertama mengandung tiga hal penting, yakni: a) Presiden RI, Soekarno secara tersurat maupun tersirat, serta secara langsung maupun tidak langsung sudah mengakui Negara Papua, b) Namun negara Papua itu dihina sebagai negara boneka buatan Belanda, c) Karena itu Negara Papua yang dianggap oleh RI sebagai negara boneka itu harus dibubarkan. Maklumat TRIKORA itu adalah bukti autentik secara politik dan hukum pengakuan Negara Papua oleh mantan presiden RI, Soekarno. Isi TRIKORA itu juga merupakan bukti tertulis yang autentik adanya perintah aneksasi tanah air, serta Bangsa dan Negara Papua oleh Pemerintah RI, (lihat "Pernyataan Presiden NFRPB menjelang 50 tahun New York Agreement yang kelabu, 15 Agustus 1962 - 15 Agustus 2012", Halaman 4). Kemudian presiden RI, Soekarno meningkatkan invasi politik dan militer sejak tahun 1962 untuk menganeksasi Papua ke dalam NKRI.
Kedua, Perjanjian New York antara Belanda dan Indonesia, pada tanggal 15 Agustus 1962 adalah aneksasi tahap ke dua untuk merealisasikan Maklumat TRIKORA. Perjanjian New York ini menjadi payung hukum untuk mewujudkan maklumat TRIKORA. Dalam Perjanjian New York mengatur tiga hal, yakni: a) penyerahan Papua dari Belanda ke UNTEA; b) penyerahan Papua dari UNTEA ke NKRI; c) Persiapan dan Pelaksanaan Pemilihan Bebas. Setelah perjanjian itu ditanda tangani yang disaksikan oleh PBB dan Amerika Serikat, maka selanjutnya Belanda menyerahkan kekuasaan adminitrasi pemerintahan Papua ke tangan UNTEA; dan pada tanggal 01 Mei 1963 UNTEA menyerahkan Papua ke NKRI. RI mengkondisikan orang Papua sedemikian rupa untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat dari sejak 01 Mei 1963. Akhirnya Pemilihan Bebas satu orang satu suara itu, diubah menjadi pemilihan tidak bebas dan diterapkan sistem perwakilan, yang hanya 1025 orang mewakili 800.000 jiwa lebih total penduduk asli Papua. Karena itu orang asli Papua menyebut Penentuan Pendapat Rakyat pada tahun 1969 itu "cacat hukum dan moral".
Aneksasi lanjutan ketiga adalah melalui paket politik yang dikemas dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1969 tentang Otonomi Luas dan Real bagi propinsi Irian Jaya (kini Papua).
Keempat, Dengan adanya desakan rakyat bangsa Papua untuk berdaulat penuh, maka untuk meredam aspirasi politik Papua merdeka, UU Otonomi Luas dan Real itu diganti dengan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, dan UU Otsus itu kemudian telah direvisi berkali-kali sesuai kemauan Jakarta.
Dari empat tahapan aneksasi itu, aneksasi tahap pertama menempati urutan tertinggi karena Maklumat Trikora itu setingkat dengan proklamasi / deklarasi /manifesto. Untuk mewujudkan aneksasi pertama di dukung oleh Rusia. Kemudian demi kepentingan politik dan ekonomi, Amerika Serikat memainkan peran luar biasa dan dapat menekan Belanda dan meyakinkan PBB untuk memediasi RI dan Belanda agar menyelesaikan sengketa atas tanah Papua. Akhirnya lahirlah aneksasi tahap kedua, yaitu Perjanjian New York antara Belanda dan RI secara sepihak tanpa melibatkan orang asli Papua, dan follow up-nya adalah Penentuan Pendapat Rakyat yang cacat moral dan cacat hukum, yang dimulai dengan invasi politik dan militer untuk merealisasikan Maklumat TRIKORA. Aneksasi tahap kedua oleh RI di dukung penuh oleh Amerika, PBB dan negara sekutu lainnya.
Aneksasi tahap ketiga dan tahap keempat dikemas dalam paket politik UU Otonomi Khusus (Otsus) untuk mempertahankan aneksasi tahap pertama dan kedua. Aneksasi tahap ketiga dan keempat di dukung penuh oleh Negara-negara tertentu di dunia dan PBB. Ada pun negara-negara tertentu, seperti Amerika dan Uni Eropa, serta Australia menjadi negara-negara pendonor untuk implementasi aneksasi lanjutan tahap ketiga dan keempat yakni Otsus Jilid pertama dan Jilid kedua.
Dari penjelasan di atas, diuraikan secara jelas dan singkat bahwa kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua mengalami dari aneksasi ke aneksasi lanjutan oleh NKRI. Dalam upaya RI menganeksasi atau mencaplok tanah air, dan membubarkan keutuhan dan integritas bangsa dan kemerdekaan Negara Papua Barat telah melanggar beberapa ketentuan Hukum Nasional dan Internasional serta tata cara / norma yang berlaku, antara lain:
Pertama, RI telah melanggar butir 6 Declaration on the Granting of Indenpendence to Colonial Countries and People, yang berbunyi: "Setiap upaya gangguan sebagian atau seluruh persatuan nasional dan integritas suatu Negara tidak sesuai dengan tujuan dan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa".
Kedua, Telah melanggar Pembukaan Undang-undang Dasar RI pada alinea pertama yang menyatakan: "Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan".
Ketiga, Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962 tentang "Act of free choice" dan implementasinya melalui Penentuan Pendapat Rakyat pada tahun 1969 juga telah melanggar hukum bangsa-bangsa tentang Aneksasi dan Declaration on the Granting of Indenpendence to Colonial Countries and People dalam resolusi PBB nomor 1514 (XV), tanggal 14 Desember 1960.
Keempat, ditinjau dari hukum bangsa-bangsa, maka klaim RI atas Papua Barat sebagai bagian integral berdasarkan sejarah Kerajaan-kerajaan Kuno, seperti Kerajaan Majapahit dan Kesultanan Tidore dengan hubungan kekeluargaan bangsa, hubungan kenegaraan dan kebudayaan tidak dapat dibenarkan sama sekali. Bangsa Papua sama sekali tidak merasakan hubungan seperti itu. Maka itu, RI telah melanggar Hukum Bangsa-bangsa.
Kelima, Negara Indonesia, PBB dan Amerika Serikat telah melanggar Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia oleh PBB dan kovenan-kovenan Internasional lainnya.
Untuk memulihkan kembali Kemerdekaan Kedaulatan Negara Papua Barat yang telah dianeksasi ke dalam NKRI, maka pada puncak Forum Demokrasi tertinggi bangsa Papua yakni Kongres Bangsa Papua ke tiga, 19 Oktober 2011 di Lapangan Zakeus Padang Bulan - Jayapura yang dihadiri sekitar 12.000 (dua belas ribuh) wakil rakyat Bangsa Papua telah menyatakan "Deklarasi Pemulihan Kemerdekaan Kedaulatan Bangsa Papua di negeri Papua Barat" yang dibacakan oleh Forkorus Yaboisembut, S.Pd dan melahirkan Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB). Saat ini NFRPB sebagai negara baru di muka bumi ini sedang berjuang untuk mendapatkan status pengakuan secara de jure oleh negara-negara merdeka di dunia dan PBB, dan selanjutnya mengatur peralihan kekuasaan adminitrasi pemerintahan dari NKRI ke NFRPB secara bermartabat.

Pada Menjelang 50 Tahun Aneksasi Tanah Air dan Bangsa serta Negara Papua, Front PEPERA PB menyatakan dengan tegas bahwa:

1). Pendudukan NKRI di Tanah Papua adalah illegal secara hukum dan moral.
2). Menolak dan menggugat Aneksasi Tanah Air, dan Bangsa serta Negara Papua Barat ke dalam NKRI.
3). Negara Indonesia segera akui Kemerdekaan Kedaulatan Negara Papua Barat.
4). Stop membubarkan NFRPB dan stop memaksakan rakyat dan bangsa Papua menjadi warga negara dan bangsa Indonesia.
 5). Negara Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB segera bertanggung jawab dengan jalan mengambil langkah-langkah kongkrit untuk penyelesaian status Politik dan Hukum Bangsa Papua secara bermartabat sesuai standar Internasional.
  6). Negara-negara di dunia, khususnya Amerika Serikat dan Belanda mendorong PBB dan atau pihak ketiga yang netral untuk memediasi dialog /perundingan agar melahirkan solusi dua bangsa (Indonesia - Papua) dan dua negara (NKRI - NFRPB) yang setara dan tanpa syarat sesuai standar Internasional. 
7). RI segera hentikan segala bentuk teror maupun sandi-sandi operasi dalam bentuk apa pun untuk membungkam perjuangan bangsa Papua dan stop membantai orang asli Papua, baik secara langsung dan tidak langsung.
 8). Solidaritas masyarakat Internasional mendorong Negara masing-masing untuk mengakui Kemerdekaan Kedaulatan Negara Papua secara de jure.
9). Negara-Negara di kawasan Malanesia (MSG) dan Pasifik Islands Forum (PIF) segera menerima Papua Barat menjadi Anggota Tetap MSG dan PIF dalam tahun ini.
10). Semua Komponen Bangsa Papua di mana saja berada segera konsolidasi bersatu untuk mengembalikan Hak Kemerdekaan Kedaulatan Bangsa dan Negara Papua yang telah dianeksasi ke dalam NKRI melalui cara-cara kotor (cacat moral) dan tidak prosedural (cacat hukum).

Demikian pernyataan sikap ini kami buat dengan sesungguhnya, untuk diperhatikan dan ditindak-lanjuti oleh pihak-pihak terkait, agar dapat menyelamatkan orang asli Papua dari marginalisasi, diskriminalisasi, minoritas, dan pemusnahan etnis Papua secara bergerak perlahan-lahan (slow moving genocide).

Penjara Abepura: Sabtu, 27 April 2013.
"Persatuan Tanpa Batas Perjuangan Sampai Menang".
TTD
Selpius Bobii, (Ketua Umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat, juga Tahanan Politik Papua Barat)
 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com