Senin, 14 Oktober 2013

SALAH KAPRAH POLITIK KEKUASAAN DI INDONESIA

0 komentar


Oleh Santon Tekege
 
Dalam realitas Indonesia memperlihatkan bahwa politik dimengerti sebagai sesuatu yang buruk, jijik, dan jahat. Karena memang ada banyak praktek politik yang kurang baik diperlihatkan oleh pihak-pihak pemegang politik kekuasaan di Indonesia. Padahal politik kekuasaan itu pada dasarnya sangat baik jika digunakannya demi kepentingan bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama “Bonum Commune” oleh Pastor Fransiskus Katino, Pr (Dosen Pengajar Teologi Politik, pada Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi “Fajar Timur”, Abepura-Papua) sejak 30 September 2013. Namun salah kaprah oleh para penguasa karena tidak memikirkan akan kesejahteraan bersama “bonum commune” bagi rakyat Indonesia, justru karena itu keterpurukan hidup dan kemiskinan menjadi isu harian di Indonesia. Hal ini muncul karena politik dijadikan sebagai permainan politik untuk berkuasa. Bahkan untuk mencari kepentingan diri, keluarga pejabat dan wakil rakyat Indonesia alias bukan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” melainkan kenyamanan sosial bagi seluruh keluarga pejabat dan wakil rakyat Indonesia. Cita-cita luhur Pancasila, sila ke-5 dikhianati oleh para pemegang kekuasaan politik di Indonesia. Kalau demikian, di mana posisi rakyat jelata Indonesia?
Politik Indonesia sangat dominan dimainkan dengan pendekatan kekuasaan. Kekuasaannya itu sering digunakan untuk mencaplok demi kepentingannya sendiri, keluarga dan kelompoknya. Pemegang kekuasaan Indonesia sering mencari kenyamanan sosial bagi seluruh pejabat keluarganya dan wakil rakyat Indonesia. Sementara warganya menderita, penuh jeritan dan tangisan di Indonesia. Pada posisi ini, pemerintah Indonesia buta melihat jeritan warganya alias ikan cakalang pasar senen Jakarta “Matanya terbuka lebar, tetapi tidak melihat”, dan pemerintah Indonesia buta mendengar alias orang tuli di Jakarta kota “Kuping telinga terbuka besar tetapi tidak mendengar”. Gelar ini sangat cocok dan boleh dipakaikan bagi pemerintah Indonesia notabene pemegang politik dan kekuasaan pada negaranya.
                           
Politik sebagai Panggilan Manusia
Politik sebagai panggilan setiap warga Indonesia. Karena itu, kita dipanggil untuk mengusahakan prinsip universal bersama yakni “Bonum Commune”. Kita dipanggil untuk peka mengganapi perubahan-perubahan yang terjadi, misalnya penyakit-penyakit sosial yang berkaitan dengan kemiskinan, diskriminasi, korupsi, pelecehan hak-hak asasi manusia dan pengangguran. Semua ini bertolak belakang dan meniadakan prinsip umum sehingga politik sebagai perutusan bagi manusia, sangat kurang diperlihatkan di Indonesia. Padahal gagasan perutusan ini menjadi prinsip dasar dalam menanggapi situasi penyakit sosial di Indonesia.
Politik bukan lagi dilihat sebagai panggilan manusia melainkan tempat untuk mencari popularitas diri, kepentingan diri, dan keluarga. Hal ini mesti ditiadakan dan menekankan pada panggilan manusia untuk mengusahakan kesejahteraan bersama khususnya dalam keterpurukan hidup dan kemiskinan rakyatnya yang sengaja dibiarkan oleh pemerintah Indonesia. Kalau memang kesengajaan dibiarkan rakyatnya menderita, dan hidup dalam keterpurukan, untuk apa adanya negara Indonesia? Maka itu, kita sebagai warga Indonesia dipanggil untuk terlibat aktif dalam khanca politik bukan politik dilihat sebagai kotor, jijik dan jahat. Namun kita dipanggil untuk memperluas prinsip-prinsip dasar setiap agama dan budaya di Indonesia. Bukan untuk bermain dengan segala cara dan gaya untuk meniadakan prinsip-prinsip universal yang di ada di Indonesia.
Dasar keterlibatan setiap kita dalam politik terletak dalam tujuan membangun “bonum commune”. Membangun masyarakat atau komunitas yang lebih baik merupakan agenda bersama dan utama dalam sebuah negara. Orang yang terlibat dalam politik mesti mengusahakan tujuan atau arah sebuah negara untuk rakyat yang makmur dan sejahtera. Walau demikian, kenyataan Indonesia tidak memperlihatkan tujuan membangun masyarakat yang sejahtera “bonum commune” karena di sana orang mencari keuntungan pribadi, kepentingan keluarga diutamakan, dan kepentingan kelompok selalu ditekankan setiap saat, padahal sangatlah keliru dan melenceng dari tujuan awal sebuah negara. Dalam konteks seperti ini, setiap kita dipanggil untuk membangun dan mengusahakan masyarakat yang lebih baik, aman dan damai tanpa adanya penyakit-penyakit sosial di negara ini.

Politik untuk Kekuasaan di Indonesia
Di zaman filsuf Plato dan Aristoteles, politik merupakan ruang publik dimana setiap warga bebas yang berasal dari berbagai macam bidang boleh datang untuk terlibat. Secara praktisnya politik dapat dipahami sebagai seni mengatur dan mengurus Negara. Namun ketika seni mengurus Negara mencakup kebijakan atau tindakan dalam urusan kenegaraan terhadap rakyatnya, maka seni kepengurusan tersebut mau tidak mau melibatkan banyak warga masyarakat yang bebas. Karena itu, Plato maupun Aristoteles mengusulkan agar politik berjalan dengan prinsip keadilan. Di sini sangat jelas bahwa kedua filsuf dapat memikirkan dalam lapangan terbuka dimana setiap orang yang bebas datang berdiskusi tersebut memiliki motif yang jelas politik memiliki orientasi pada kepentingan bersama. Inilah semangat dasar dari praktek politik bukan mencari kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok melainkan mewujudkan cita-cita awal yakni mengusahakan kesejahteraan umum. Namun ketika cita-cita itu dikhianati dan dihancurkan demi kepntingan dan kekuasaan diri, keluarga dan kelompok, maka muncullah berbagai kecurangan dan manipulasi prinsip-prinsip universal yang pada gilirannya menjadikan wajah praktik politik itu menjadi kusam “bdk.Mikhael Dua (ed), Politik Katolik: Politik Kebaikan Bersama, Jakarta: Obor 2008, hal. 257”.
Dalam realitas sosial memperlihatkan bahwa negara ini penuh dengan berbagai penyakit sosial, misalkan kecurangan dan manipulasi, korupsi dan pelecehan terhadap martabat manusia alias warganya. Dikarenakan orientasinya selalu pada kepentingan diri, keluarga dan kelompok, orang selalu mencari berlindung pada ketidaksetiaan, mencari keenakan pribadi dan keluarganya, selalu mencari kenikmatan pada setiap kesempatan, adanya pemalsuan dengan segala cara, pemborosan berbagai dana demi kekuasaan dan kepentingan politiknya, dan menggunakan kekuasaan untuk menguasai rakyat Indonesia. Karena itu, tidak diperlihatkan rasa sebagai warga Indonesia tulen, tidak adanya semangat pelayanan dan pengabdian pada warga Indonesia, hilangnya nilai solidaritas sebagai warga Indonesia, dan bahkan meniadakan kepentingan seluruh rakyat Indonesia karena dirakusi oleh kepentingan politik dan kekuasaan yang merajai di Indonesia.
Indonesia dengan kepentingan politik dan kekuasaannya tanpa memikirkan dampak rugi dan untung beberapa puluh tahun ke depan, pemerintah mencanankan 1 juta hektar hutan untuk perusahan kelapa sawit di Indonesia “hutan Kalimantan dan Papua menjadi makanan para kapitalis asing dunia”. Para kapitalis memegang peran penting di Indonesia. Indonesia telah membuka pintu lebar bagi kaum kapitalis untuk mengembangkan perusahannya di Indonesia. Alasannya Indonesia negara baru berkembang sehingga siapa pun pemodal bisa mempengaruhi pemerintahan di Indonesia. Imbasnya adalah rakyat menjadi pekerja aktif bahkan budak dari negara asing di Indonesia. Bodohlah Indonesia jika tidak mampu mengatakan kemandirian sebagai Indonesia sejati.
Penarikan lain oleh para kapitalis asing di Indonesia adalah semakin berlimpahnya sumber daya alam. Bukan hanya dilihat Indonesia negara baru berkembang tetapi memang ada gula-gula yang mesti dimimis habis-habisan oleh perusahan asing di Indonesia. Padahal segala sumber alam di bawa keluar Indonesia, rakyatnya menderita dan diperbudak oleh negara-negara asing sehingga Indonesia menjadi negara yang tergantung pada negara asing. Negara Indonesia mesti ditekankan kepentingan utama bagi rakyat untuk mencapai pada rakyat yang sejahtera dan mandiri. Bukan mendatangkan perusahan asing yang memperbudak rakyatnya dari kepentingan negara lain di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga jangan keliru dan salah pikir dengan kehadiran perusahan asing akan menjamin kesejahteraan bersama bagi rakyat di Indonesia.
Dengan demikian, semangat pelayanan merupakan unsur fundamental dalam menjalankan kekuasaan politik dan kekuasaan pada rakyat Indonesia bukan mencari keenakan pribadi, keluarga, dan kelompok. Kehadiran para politikus dan pengabdian negara pada rakyat mesti ditekankan dan dimajukan agar cita-cita “bomun commune” dicapai dan dirasakan dalam keterpurukan hidup dan kemiskinan yang dialami oleh rakyat Indonesia pada zaman ini.



Penulis: Mahasiswa pada STFT-Fajar Timur, Abepura-Papua

PAPUAN POLITICAL PRISONER REJECT OFFER OF INDONESIA GOVERMENT FOR AMNESTY

0 komentar

Papuan political prisoners reject offer of Indonesian Government for amnesty


The bid by the Indonesian Government through the Ministry of Law and Human Rights, to grant amnesty for some political prisoners in Papua was rejected by political prisoners at Abepura penitentiary.
  
The Papuan political prisoners’ statement which was signed by 25 political prisoners serving sentences in Abepura prison stated the following: “We reject the plan granting clemency by the President of the Republic of Indonesia.”


This statement, received by Jubi on Friday (24/05) reinforces the position of these political prisoners: they themselves do not need to be released from prison, but they demand the release of the people of West Papua from the colonial occupation by the Indonesian Republic.

A few hours earlier, the Minister of Law and Human Rights, Amir Syamsuddin, had conveyed to journalists at the Parliament Building in Jakarta that amnesty would be granted to political prisoners in Papua.
“We are considering the granting of amnesty for political prisoners, because of the political background, especially the situation in Papua,” said Law Minister Amir Syamsuddin.

The 25 political prisoners who rejected the amnesty offer by the Indonesian Government are:
1. Filep J.S. Karma
2. Victor F Yeimo
3. Selpius Bobii
4. A. Makbrawen Sananay Krasar
5. Dominikus Sarabut
6. Beni Teno
7. Alex Makabori
8. Nico D. Sosomar
9. Petrus Nerotou
10. Denny I Hisage
11. Dago Ronald Gobai
12. Jefry Wandikbo
13. Mathan Klembiab
14. Rendy W. Wetipo
15. Boas Gombo
16. Jhon Pekei
17. Oliken giyai
18. Panus Kogoya
19. Warsel Asso
20. Yunias Itlay
21. Timur Waker
22. Kondison Jikibalom
23. Serko Itlay
24. Japrai Murib
25. Yulianus Wenda

In Papua, until last April, according to the UK-based NGO, Tapol, there are around 40 political prisoners scattered in several prisons in Papua and West Papua. 

Six Political Prisoners in Timika Refuse Plan Clemency for Political Prisoners in Papua 
We the undersigned are six KNPB Timika area activist who is serving a sentence in Timika prison, stated unequivocally that the President of the Republic Indonesia: 
  1.  Firmly reject the Plan Granting Clemency for All Political Prisoners in Papua.   
  2.  Six Prisoners politic in Timika which is serving will not receive a pardon if granted 
  3. We insist that the Papuan People's Immediate Release of Homeland grip. 
Political prisoners attitude thus being detained in prisons class II B, Timika, Papua,  

Timika, May 25, 2013 

Romario Yatipai 
Stevanus Itlay 
Yakonias Womsiwor 
Alfred Marsyom 
Paulus Marsyom  
Yanto Awerkion 

PAUS FRANSISKUS: IMAN BUKAN HIASAN TETAPI KEKUATAN JIWA

0 komentar

Paus: Iman bukan hiasan tapi kekuatan jiwa


Paus: Iman bukan hiasan tapi kekuatan jiwa thumbnail 19/08/2013

Paus Fransiskus  pada hari Minggu menegaskan kembali seruannya untuk perdamaian terkait krisis yang sedang berlangsung di Mesir dengan mengajak semua pihak terus berdoa bersama bagi perdamaian di Mesir.
Selain itu Bapa Suci juga mengenang orang-orang yang tewas dalam tabrakkan Kapal Feri  di Filipina pekan  ini dan berdoa untuk keluarga yang berduka.
Paus berbicara menyusul doa Angelus dari apartemen Kepausan di Lapangan Santo Petrus.
Selama doa Angelusnya, Paus Fransiskus mengambil bacaan Injil hari Minggu.
Dia menjelaskan bahwa perikop yang terdapat dalam Surat Ibrani: “”Marilah kita berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang terbentang di hadapan kita sambil menjaga mata kita tertuju pada Yesus”, adalah sebuah ungkapan yang harus kita tekankan terutama di Tahun Iman ini.
Paus mengatakan bahwa Yesus adalah kunci untuk hubungan yang penuh kasih dengan Allah. Dia adalah satu-satunya pengantara hubungan di antara kita dan Bapa kita di surga.
Bapa Suci kemudian mengalihkan perhatian ke perikop lain dalam liturgi hari Minggu, yang menurutnya perlu dijelaskan agar tidak menimbulkan kebingungan atau kesalahpahaman.
Paus Fransiskus  mengacu pada kata-kata yang Yesus berbicara kepada para murid-Nya “kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan” (Luk 12:51).
“Tapi, apa artinya ini?” tanya Paus.
Dia menjelaskan bahwa “itu berarti bahwa iman bukan merupakan hiasan, tidak ada untuk menghiasi hidup Anda dengan sedikit ‘beragama.” Tidak, iman, kata Paus Fransiskus, memilih Allah sebagai pusat kehidupan seseorang, seraya menambahkan bahwa Allah tidak kosong, ia tidak netral, Allah adalah kasih.
Yesus, lanjut Paus Fransiskus  tidak ingin memisahkan orang-orang satu sama lain, sebaliknya, Yesus adalah damai kita. Tapi, dia menetapkan kriteria: hidup untuk diri sendiri, atau hidup untuk Allah.
Jadi, kata Paus, “kata Injil tidak mengizinkan penggunaan kekuatan untuk menyebarkan iman. Ini ‘justru sebaliknya:  kekuatan sejati orang Kristen adalah kekuatan kebenaran dan kasih, yang mengarah ke penolakan dari kekerasan “Iman dan kekerasan tidak dapat didamaikan”.
Pada akhir pidatonya, Bapa Suci lagi menekankan bahwa iman bukan merupakan sebuah hiasan tetapi kekuatan jiwa.
Sumber: radiovaticana.va

Sabtu, 14 September 2013

WEST PAPUA CELEBRATE ARRIVAL OF SACRED WATER AND FIRE, SINCE 14 SEPTEMBER 2013

0 komentar

West Papuans celebrate arrival of sacred water and fire


West Papuans celebrate arrival of sacred water and fire, despite intimidation by Indonesian military
Media release
14 September 2013 

A number of events took place across West Papua today to celebrate the arrival of sacred water and fire from the Freedom Flotilla.
In the port city of Marauke, a planned community event which was to be attended by 17 tribes from around the region was stymied by authorities. The head of police and five intelligence officers hand delivered a letter to one of the organisers prohibiting any ceremonies for the reception of the Freedom Flotilla. Police and intelligence officers stationed themselves around the house of the organiser this morning, preventing it from taking place.
“The town was crippled by the combined forces of navy, police, State Intelligence Agency (BIN,) Kopasus and military who monitored the movement of ordinary people and the Flotilla organisers throughout the day.  Plan B was to escape in few vehicles to a safe location and travel by boat for few kilometres to a nearby beach and this is where the sacred ceremony was carried out,” explained Ronnie Kareni
Jhon Wog, chairmen of the Freedom Flotilla welcoming committee and elder of the Marin Tribe in Merauke, said "In a sacred site near Marauke, I released a canoe to sail out to meet the Flotilla boat as a symbol of connecting the spirit of our ancestors. Thank God for Uncle Kevin Buzzacott, who already brought our ancestral spirit back to reconnect us with the land and hope for our struggle for independence."

In nearby Fak Fak, an estimated 400-600 people undertook a long march to highlight ongoing human rights abuses against the people of West Papua. The arrival of the water and fire was also celebrated by hundreds yesterday in Manokwari with traditional dances and prayer.
"The people of West Papua express our gratitude to the Indigenous Elders, Kevin Buzzacott, human rights activists, musicians, artists, and others on the Freedom Flotilla who have raised their voices for peace and justice in West Papua,” said West Papuan activist Awom Eliezer.
The sacred water from Lake Eyre in central Australia and ashes from Aboriginal tent embassies had been delivered by the Freedom Flotilla in a clandestine cultural exchange between indigenous elders of Australia and West Papua.  They will be passed from tribe to tribe throughout West Papua to spread the message of hope and continue the struggle for freedom.
The crackdown by authorities today follows the events of the 28th of August, where four people were arrested and charged with treason for raising the banned Morning Star flag after a prayer meeting in support of the Freedom Flotilla.
ENDS

Jumat, 14 Juni 2013

Press Release: Rize the Morning Star Campaign in Melbourne

0 komentar
Press Release – Rize of the Morning Star Campaign
West Papuans Reject Australian Foreign Minister’s Claim That Their Independence Movement Is A Cruel Deceit’ By ‘Self-indulgent PeopleWest Papuans Reject Australian Foreign Minister’s Claim That Their Independence Movement Is ‘A Cruel Deceit’ By ‘Self-indulgent People’
West Papuan Independence advocate, Ronny Kareni, who is based in Melbourne, rejects the Australian Foreign Minister’s comments in Senate Estimates last week, that the people who ‘fly the Papuan flags’ and who ‘talk the language of independence’ are part of a ‘cruel deceit’ by ‘self-indulgent people’ who are safe in their ‘own democracy’.
“For the last 50 years, the struggle has been driven by the Papuans themselves putting their life on the frontline in West Papua and abroad, campaigning against the entrenched brutality by Indonesian security forces” says Ronny Kareni.
“We build solidarity with groups in Australia and abroad but this movement was initiated and is primarily driven by West Papuans in West Papua – who seek an end to the human rights abuses and recognition of their political rights to self-determination.”
West Papua was illegally occupied in December1961 as part of the Indonesian military operation ‘Trikora”, which aimed to seize the former Dutch colony ‘Netherlands New Guinea’. West Papua’s independence was denied by the UN. The UN subsequently granted Indonesia administration of the the region and Indonesia ultimately gained full control in 1969, after the referendum named ‘Act of free choice’. Despite this being widely criticised as a sham vote that contravenes international law. “I was born into this conflict, I’m the 3rd generation to face this ongoing struggle for our rights for freedom.” says Kareni
“My parents were forced to flee and live in exile in Papua New Guinea in the early 80s as part of the large exodus of West Papuans. It was and remains very dangerous for West Papuans to peacefully campaign for their human rights and political rights- even raising our Morning Star flag can mean between 3-15 years in prison.”
It is estimated that 500,000 Papuans have been killed since Indonesia took control. Yale University and Sydney University researches have questioned whether this constitutes genocide.
“The West Papuan’s struggle for freedom is not as Bob Carr suggests ‘a fun little game for the greens party’. It is the West Papuans living in Papua and in exile who are carrying the aspirations for our own people. We ask the international community, Indigenous people in Australia and the Australian politicians to hear the voice of the West Papuans and support us in our struggle.”
“I find the Foreign Minister’s comments are discriminatory to the West Papauns, as he implies that it is simply ‘self-indulgent’ people in ‘safe democracies’ that are leading this struggle for independence. This is disrespectful of our fight for freedom for the last 50 years. Everyday West Papuans risk their lives in Papua and abroad. Even those of us involved in the independence movement abroad are monitored by the Indonesian intelligence.”
“We call on the people of Australia to put pressure on the Australian government to review it’s funding and training of Detachment 88 who are alleged to have committed widespread violence and arbitrary detention of Papuans who peacefully express their political views for independence.”
“Providing access to independent foreign media and a UN fact finding mission is vital so that the international community really knows what’s happening in West Papua.”
ENDS

Jumat, 24 Mei 2013

PRESIDEN INDONESIA (SBY) MENGABAIKAN SERUAN AGAMAWAN INDONESIA

0 komentar

Presiden SBY abaikan seruan agamawan

24/05/2013 Presiden SBY abaikan seruan agamawan thumbnail

Komunitas masyarakat sipil yang terdiri dari kaum agamawan dan rohaniwan, aktivis, dan penggiat hak asasi manusia, Kamis (25/5), kembali menyatakan penolakannya terhadap penghargaan yang diberikan Appeal of Conscience Foundation (ACF) terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka juga mendesak presiden untuk menolak pemberian penghargaan tersebut.
AFC adalah organisasi yang giat mempromosikan perdamaian, demokrasi, toleransi, dan dialog antarkepercayaan yang berbasis di New York, Amerika Serikat. Mereka memberi penghargaan terhadap Presiden Yudhoyono atas kontribusinya dalam demokratisasi dan rekonsiliasi konflik di Tanah Air.
Komunitas masyarakat sipil di Indonesia menolak penghargaan ini karena sama sekali tidak mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Air di bawah kepemimpinan Yudhoyono.
Setara menggelar acara penolakan penghargaan tersebut di Jakarta kemarin. Sejumlah tokoh dan aktivis HAM hadir dalam acara tersebut, antara lain Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Musdah Mulia, Allisa Wahid, dan Jallaluddin Rakhmat.
“Presiden Yudhoyono seharusnya merefleksikan rencana pemberian penghargaan kepada dirinya. Apakah pantas atau tidak menerima penghargaan tersebut? Sebab bila dia menerima penghargaan itu, banyak konsekuensi yang harus ditanggung dan dijalankannya,” kata Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute, Romo Antonius Benny Susetyo kepada SH, Kamis.
Menurut Romo Benny, bila presiden pada akhirnya menerima penghargaan itu maka harus berani menegakkan hukum terhadap para pelaku kekerasan di Tanah Air. Bila Presiden Yudhoyono tidak mampu menegakkan hukum yang berlandaskan konstitusi maka presiden sebaiknya menolak pemberian penghargaan itu.
Sebelumnya tokoh cendekiawan dan rohaniwan dari Sekolah Tinggi Filsafat Diyarkara, Romo Franz Magnis Suseno SJ, telah terlebih dulu menyatakan protesnya dengan melayangkan surat ke AFC. Surat dikirim ke ACF melalui e-mail pada Rabu (15/5), segera setelah ia mengetahui rencana pemberian penghargaan itu dari media.
Ia tidak memprotes soal penghargaan kepada seorang presiden, tapi lebih kepada esensi bahwa penghargaan yang diberikan itu berkaitan dengan upaya memajukan toleransi di Indonesia. Menurutnya, selama 10 tahun reformasi, toleransi keagamaan di Indonesia berkurang.
Dalam suratnya, Magnis menulis, penghargaan itu hanya akan membuat malu ACF. Menurut Magnis, selama 8,5 tahun kepemimpinan Presiden Yudhoyono, kaum minoritas Indonesia justru berada dalam situasi tertekan. Presiden bahkan tidak pernah memberikan seruan kepada rakyatnya untuk menghormati hak-hak kaum minoritas. Kekerasan terhadap kelompok minoritas, termasuk Ahmadiyah dan Syiah, terus terjadi.
“Pemerintah tidak melakukan upaya perlindungan apa pun terhadap para korban konflik kekerasan itu,” ungkap Magnis kepada SH, Kamis ini.
Romo Magnis juga mengatakan, selain persoalan yang dihadapi oleh jemaah Ahmadiyah dan Syiah, hingga kini jumlah gereja yang ditutup juga meningkat; juga tentang persoalan kesulitan bagi warga Kristen untuk memperoleh izin mendirikan tempat ibadah, serta banyaknya peraturan untuk sekadar melakukan kebaktian secara terbuka.
Tetap Berangkat
Namun di tengah protes ini, Presiden Yudhoyono dipastikan tetap akan berangkat ke AS untuk menerima penghargaan tersebut. “Sejauh ini tidak ada perubahan yang saya dengar,” kata Juru Bicara Istana Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, Kamis.
Menurut Julian, hal itu dilakukan presiden sejalan dengan agenda membahas Millenium Development Goals (MDGs) 2015 di AS.”Presiden SBY ke AS akhir Mei 2013 untuk menyerahkan hasil akhir pembahasan agenda High Level Panel Post MDGs 2015,” jelasnya.
Sumber: Sinar harapan

PEMERINTAH INDONESIA DINILAI BIARKAN PELANGGARAN HAM INDONESIA DAN DI PAPUA

0 komentar
 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com