Jumat, 24 Mei 2013

PRESIDEN INDONESIA (SBY) MENGABAIKAN SERUAN AGAMAWAN INDONESIA

0 komentar

Presiden SBY abaikan seruan agamawan

24/05/2013 Presiden SBY abaikan seruan agamawan thumbnail

Komunitas masyarakat sipil yang terdiri dari kaum agamawan dan rohaniwan, aktivis, dan penggiat hak asasi manusia, Kamis (25/5), kembali menyatakan penolakannya terhadap penghargaan yang diberikan Appeal of Conscience Foundation (ACF) terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka juga mendesak presiden untuk menolak pemberian penghargaan tersebut.
AFC adalah organisasi yang giat mempromosikan perdamaian, demokrasi, toleransi, dan dialog antarkepercayaan yang berbasis di New York, Amerika Serikat. Mereka memberi penghargaan terhadap Presiden Yudhoyono atas kontribusinya dalam demokratisasi dan rekonsiliasi konflik di Tanah Air.
Komunitas masyarakat sipil di Indonesia menolak penghargaan ini karena sama sekali tidak mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Air di bawah kepemimpinan Yudhoyono.
Setara menggelar acara penolakan penghargaan tersebut di Jakarta kemarin. Sejumlah tokoh dan aktivis HAM hadir dalam acara tersebut, antara lain Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Musdah Mulia, Allisa Wahid, dan Jallaluddin Rakhmat.
“Presiden Yudhoyono seharusnya merefleksikan rencana pemberian penghargaan kepada dirinya. Apakah pantas atau tidak menerima penghargaan tersebut? Sebab bila dia menerima penghargaan itu, banyak konsekuensi yang harus ditanggung dan dijalankannya,” kata Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute, Romo Antonius Benny Susetyo kepada SH, Kamis.
Menurut Romo Benny, bila presiden pada akhirnya menerima penghargaan itu maka harus berani menegakkan hukum terhadap para pelaku kekerasan di Tanah Air. Bila Presiden Yudhoyono tidak mampu menegakkan hukum yang berlandaskan konstitusi maka presiden sebaiknya menolak pemberian penghargaan itu.
Sebelumnya tokoh cendekiawan dan rohaniwan dari Sekolah Tinggi Filsafat Diyarkara, Romo Franz Magnis Suseno SJ, telah terlebih dulu menyatakan protesnya dengan melayangkan surat ke AFC. Surat dikirim ke ACF melalui e-mail pada Rabu (15/5), segera setelah ia mengetahui rencana pemberian penghargaan itu dari media.
Ia tidak memprotes soal penghargaan kepada seorang presiden, tapi lebih kepada esensi bahwa penghargaan yang diberikan itu berkaitan dengan upaya memajukan toleransi di Indonesia. Menurutnya, selama 10 tahun reformasi, toleransi keagamaan di Indonesia berkurang.
Dalam suratnya, Magnis menulis, penghargaan itu hanya akan membuat malu ACF. Menurut Magnis, selama 8,5 tahun kepemimpinan Presiden Yudhoyono, kaum minoritas Indonesia justru berada dalam situasi tertekan. Presiden bahkan tidak pernah memberikan seruan kepada rakyatnya untuk menghormati hak-hak kaum minoritas. Kekerasan terhadap kelompok minoritas, termasuk Ahmadiyah dan Syiah, terus terjadi.
“Pemerintah tidak melakukan upaya perlindungan apa pun terhadap para korban konflik kekerasan itu,” ungkap Magnis kepada SH, Kamis ini.
Romo Magnis juga mengatakan, selain persoalan yang dihadapi oleh jemaah Ahmadiyah dan Syiah, hingga kini jumlah gereja yang ditutup juga meningkat; juga tentang persoalan kesulitan bagi warga Kristen untuk memperoleh izin mendirikan tempat ibadah, serta banyaknya peraturan untuk sekadar melakukan kebaktian secara terbuka.
Tetap Berangkat
Namun di tengah protes ini, Presiden Yudhoyono dipastikan tetap akan berangkat ke AS untuk menerima penghargaan tersebut. “Sejauh ini tidak ada perubahan yang saya dengar,” kata Juru Bicara Istana Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, Kamis.
Menurut Julian, hal itu dilakukan presiden sejalan dengan agenda membahas Millenium Development Goals (MDGs) 2015 di AS.”Presiden SBY ke AS akhir Mei 2013 untuk menyerahkan hasil akhir pembahasan agenda High Level Panel Post MDGs 2015,” jelasnya.
Sumber: Sinar harapan

PEMERINTAH INDONESIA DINILAI BIARKAN PELANGGARAN HAM INDONESIA DAN DI PAPUA

0 komentar

DESMON TUTU: PEJUANG KEADILAN DI DUNIA MENDAPAT PENGHARGAAN TEMPLETON DI LONDON

0 komentar

Archbishop Emeritus Desmond Tutu at the Templeton Prize celebration at St. George’s Cathedral in Cape Town on April 11, 2013.
(Photo credit: Templeton Prize: / Karen Marshall)

DUNIA

Desmond Tutu Pejuang Keadilan

Desmond Tutu mendapat penghargaan Templeton di London Selasa (21/05/13). Warga Afrika Selatan yang berusia 81 tahun itu mendapat penghargaan karena "upaya menyokong kasih dan pengampunan".
Dengan upayanya, Desmond Tutu membantu gerakan pembebasan di seluruh dunia. Demikian alasan pemberian penghargaan tersebut. Tutu terkejut ketika mendengar keputusan yang diambil awal April itu.
Ia memberikan reaksi demikian: "Jika kamu lebih tinggi daripada orang lain, itu biasanya karena orang-orang lain menggendongmu di bahunya."
Uskup, perantara perdamaian dan pejuang keadilan sosial Desmond Tutu sudah memegang berbagai peran dalam hidupnya. Awal tahun 80-an ia terkenal karena melawan rezim Apartheid di Afrika Selatan. Tutu sering mengecam ketidakadilan, tanpa membangkitkan kebencian. Misalnya Februari 1991. Setelah tekanan puluhan tahun atas penduduk berkulit hitam, Presiden de Klerk membebaskan sejumlah tahanan politik, seperti Nelson Mandela, dan mengijinkan berdirinya partai dan organisasi.
Tapi perundingan untuk reformasi demokrasi mandek. Ketika politisi dan pejuang kebebasan Chris Hani dibunuh seorang warga radikal kanan, perang saudara hampir terjadi. Tutu menyerukan "Kita akan bebas! Kita semua - kulit hitam dan putih bersama-sama!" Itu diserukan Desmond Tutu saat pemakaman Chris Hani di depan lebih dari 100.000 orang. Di saat-saat sulit seperti ini, Tutu menunjukkan kekuatannya.
Dari Guru Menjadi Uskup Pertama Berkulit Hitam di Afrika Selatan
Demond Tutu lahir 1931 di Klerksdorp. Dulu ia menjadi guru. Ketika pemerintah memutuskan, murid berkulit putih harus mendapat pendidikan lebih baik daripada yang berkulit putih, Tutu berhenti jadi guru, dan beralih ke dunia teologi. Ia kemudian menjadi uskup gereja Anglikan pertama di Johannesburg yang berkulit hitam, kemudian jadi uskup Cape Town.
Di dunia politik ia selalu memerangi pemisahan berdasarkan ras. Secara terbuka ia bersimpati dengan tujuan yang ingin dicapai partai Nelson Mandela, Kongres Nasional Afrika (ANC).
Archbishop Emeritus Desmond Tutu with members of the Cape Town Opera Voice of the Nation Ensemble, at the Templeton Prize celebration at St. George’s Cathedral in Cape Town on April 11, 2013.
(Photo credit: Templeton Prize: / Ilan Godfrey)Desmond Tutu bersama anggota kelompok musik Cape Town Opera Voice of the Nation Ensemble, dalam acara perayaan setelah ada keputusan ia mendapat penghargaan Templeton, di Katedral St. George di Cape Town (11/04/13)
Perdamaian, Bukan Balas Dendam
Juga setelah Apartheid dihapuskan, Tutu tidak menarik diri dari kancah politik. Presiden Nelson Mandela memintanya untuk memimpin komisi kebenaran dan perdamaian, yang bertugas meneliti kejahatan di masa Apartheid. Tutu dan komisi itu ingin menemukan jalan tengah antara keadilan dan amnesti, serta menuntut perdamaian dan pemberian maaf.
Setelah itu Tutu masih memerangi ketidakadilan di dunia, tanpa mengindahkan penguasa. Ia menuduh Tony Blair dan George W. Bush menggunakan kebohongan untuk memulai perang. Menurutnya, kedua politisi itu harus dihadapkan ke Pengadilan Pidana di Den Haag. Ia kerap menunjuk pada persamaan antara Apartheid di Afrika Selatan dan diskriminasi warga Palestina oleh Israel. Ia juga mengutuk pendudukan wilayah Palestina.
Suara Kuat Menentang Ketidakadilan
Tutu masih tetap menjadi pengamat kritis partai pemerintah, mengamati hubungan dengan rejim otoriter di Zimbabwe, pemberantasan AIDS yang berjalan terseok-seok dan elit politik yang dibayar terlalu tinggi. Memilih ANC, menurut Tutu, bukan sesuatu yang otomatis lagi. Orang mengajukan pertanyaan, dan itu bagus.
Untuk jasanya dalam perjuangan terhadap Apartheid tanpa kekerasan, Desmond Tutu mendapat Hadiah Nobel tahun 1984. Ia juga pernah mendapat penghargaan Martin Luther King, penghargaan perdamaian Gandhi, dan penghargaan lainnya. Penghargaan Templeton diberikan bagi mereka yang dengan cara istimewa memperkuat pentingnya spiritualitas dalam hidup manusia. Penghargaan ini tidak diberikan berdasarkan agama seseorang.

Bernada SARA, Komnas HAM Kecam Pernyataan Dipo Alam

0 komentar

Bernada SARA, Komnas HAM kecam pernyataan Dipo Alam

24/05/2013 Bernada SARA, Komnas HAM kecam pernyataan Dipo Alam thumbnail

Komnas HAM berencana memanggil Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam terkait ucapannya yang berbau SARA terhadap Romo Franz Magnis Suseno SJ.
Ketua Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Pelanggaran HAM, Komnas HAM, Natalius Pigai menyatakan pihaknya mengecam keras kritikan Dipo yang mengobarkan sentimen Islam dan non-Islam yang ditulis melalui akun Twitter.
“Kami akan memanggil Dipo Alam minggu depan untuk mengkarifikasi atas pernyataannya,” katanya dalam keterangan persnya, Kamis (23/5), seperti dilansir metrotvnews.com.
Pigai merujuk pernyataan Dipo Alam di Twitter yang menyebutkan “Masalah khilafiyah antarumat Islam di Indonesia begitu banyak, jangan dibesarkan oleh yang non-Muslim seolah simpati minoritas diabaikan,” kicau Dipo. “Umaro, ulama dan umat Islam di Indonesia secara umum sudah baik, mari liat ke depan, tidak baik pimpinannya dicerca oleh yang non-Muslim FMS.”
Ia menyebutkan, apabila pernyataan tersebut benar adanya maka pihaknya akan menyelidiki Dipo Alam dengan UU No.40/2008 tentang Pengawasan Diskriminasi Ras dan Etnik dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. “UU tersebut merupakan kewenangan Komnas HAM,” tegasnya.
Menurut Pigai, sejak awal dirinya telah menyampaikan kritikan atas pemberian penghargaan kepada SBY dari lembaga Amerika Serikat The Appeal of Conscience Foundation karena tidak sesuai dengan fakta.
Di bawah kepemimpinan SBY, pemerintah dianggap abai terhadap kekerasan terhadap kaum minoritas di Indonesia.
“Intoleransi agama di Indonesia tumbuh subur bahkan terkesan dibiarkan oleh penguasa,” ujarnya.

Rabu, 15 Mei 2013

KONGRES AS AKAN BAHAS PRAKTEK HAM DI INDONESIA TERUTAMA DI PAPUA

0 komentar

James P. McGovern, anggota Kongres AS

Militer dan polisi Indonesia masih mempertahankan cara-cara impunitas di beberapa provinsi, terutama di Papua.

Kongres AS, terkait perkembangan demokrasi di Indonesia, merasa perlu membahas situasi HAM di Indonesia belakangan ini. Anggota Kongres akan menyelenggarakan sidang dengar pendapat (hearing) publik, untuk meninjau situasi hak asasi manusia di Indonesia dan kebijakan luar negeri AS berkaitan dengan pemilihan presiden dan parlemen di Indonesia pada tahun 2014. Hearing ini, sebagaimana rilis Komisi HAM Kongres AS akan diselenggarakan pada Hari Kamis, 23 Mei 2013 di Washington.

James P. McGovern, anggota Kongres AS, dalam rilis Komisi HAM Kongres AS tersebut mengatakan sistem politik Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat besar, termasuk desentralisasi signifikan kekuasaan kepada pemerintah daerah dan berkurangnya peran militer dalam urusan dalam negeri dan keamanan dalam negeri. Dalam konteks ini, perlindungan hak asasi manusia umumnya telah meningkat, termasuk di daerah dengan sejarah gerakan separatis seperti Aceh. Organisasi non-pemerintah juga telah berkembang, dan banyak orang Indonesia sekarang melihat demokrasi sebagai bagian dari identitas nasional mereka. Meskipun demikian, situasi hak asasi manusia di Indonesia membutuhkan lebih banyak kemajuan.

“Militer dan polisi Indonesia masih mempertahankan cara-cara impunitas di beberapa provinsi, terutama di Papua. Laporan tentang praktek HAM di Indonesia selama tahun 2012 menunjukkan adanya kasus pembunuhan di luar hukum, penangkapan sewenang-wenang dan penahanan, penyiksaan antara Juli 2011 dan Juni 2012 dan pembatasan kebebasan berekspresi, masih terjadi di Papua.” kata anggota Kongres AS ini.

John Sifton (Direktur Advokasi Asia, Human Rights Watch), T. Kumar (Direktur Advokasi Internasional, Amnesty International USA) Sri Suparyati (Wakil Koordinator KontraS) dan Octovianus Mote (Universitas Yale Law School Fellow) akan memberikan kesaksian dalam hearing ini.
Hearing yang terbuka untuk umum ini, juga akan membahas isu intoleransi agama yang terwujud dalam intimidasi dan kekerasan terhadap beberapa kelompok agama, seperti Komunitas Ahmadiyah dan masyarakat Kristen di Jawa Barat.

Laporan AS

Kamis, 02 Mei 2013

GENEWA NEWS: Pillay, Concerned about Persistent Violence an Abuses in Papua (Indonesia) since March and May 1, 2013

0 komentar
Pillay concerned about persistent violence and abuses in Papua (Indonesia)

GENEVA (2 May 2013) – The UN High Commissioner for Human Rights Navi Pillay on Thursday expressed serious concerns over the crackdown on mass demonstrations across Papua since 30 April, with police reportedly using excessive force and arresting people for raising pro-independence flags.
“These latest incidents are unfortunate examples of the ongoing suppression of freedom of expression and excessive use of force in Papua,” Pillay said. “I urge the Government of Indonesia to allow peaceful protest and hold accountable those involved in abuses.”
Reports indicate that on 30 April police shot and killed two protesters in the city of Sorong who were preparing to mark the 50th anniversary of Papua becoming a part of Indonesia. At least 20 protesters were arrested in the cities of Biak and Timika on 1 May.
“After my official visit to Indonesia last November, I am disappointed to see violence and abuses continuing in Papua,” Pillay said. She added that there was a need for coherent policies and actions to address the underlying concerns and grievances of the local population in Papua.
Since May 2012, we have received 26 reports concerning alleged human rights violations, including 45 killings and cases of torture involving 27 people. While many incidents relate to communal violence, serious allegations of human rights abuses by law enforcement officials persist.
“International human rights law requires the Government of Indonesia to conduct thorough, prompt and impartial investigations into the incidents of killings and torture and bring the perpetrators to justice,” said the High Commissioner.
“There has not been sufficient transparency in addressing serious human rights violations in Papua,” she said. “I urge Indonesia to allow international journalists into Papua and to facilitate visits by the Special Rapporteurs of the UN Human Rights Council.”
As of March 2013, at least 20 political prisoners remain in detention in Papua, including prominent activist Filep Karma. In May 2005, he was sentenced to 15 years in prison for treason after leading a ceremony to raise the West Papuan Flag. In 2011, the UN Working Group on Arbitrary Detention concluded that Mr. Karma’s detention was arbitrary and requested that the Government take all necessary steps to release and compensate him in accordance with the International Covenant on Civil and Political Rights to which Indonesia is party. So far, the Government has not complied with the request.
“During my mission to Indonesia last November, I expressed concern over Papuan activists being imprisoned for the peaceful exercise of freedom of expression,” Pillay said, reiterating that dissent is not a crime. “It is disappointing to see more people arrested for peacefully expressing their views and I call upon the Government to release all prisoners in custody for crimes that relate to their freedom of expression.”
The National Human Rights Commission, Komnas Ham, and the National Commission on Violence against Women, Komnas Perempuan, have consistently raised concerns regarding violence and freedom of expression in Papua and made concrete recommendations to the Government of Indonesia.
“I encourage the Government to implement the recommendations made by Komnas Ham and Komnas Perempuan,” the High Commissioner said, emphasizing the vital role these national institutions play in the protection of human rights in Indonesia. Pillay encouraged the Government to continue supporting them as independent bodies and to strengthen their financial support.
ENDS
 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com