Sabtu, 22 September 2012

Paniai Papua: Masyarakat Paniai dibawah Tekanan TNI dan Polisi Indonesia di Paniai PAPUA?

0 komentar
Paniai - Situasi masyarakat Paniai terutama kota Enarotali, Madi (ibu kota Kabupaten Paniai) dan sekitarnya yang dialami akhir-akhir ini merupakan akibat dari rangkaian aksi yang terjadi belakangan ini. Penembakan yang menewaskan seorang anggota polisi ini merupakan peristiwa yang ke-empat yang terjadi dalam bulan agustus ini.


ANAK SD YANG DI TEMBAK OLEH POLISI DIPANIAI
Peristiwa pertama; Penggeledahan di rumah pribadi Bpk Irenius Adii (Kepala Badan Keuangan Pemda Paniai) di kampung Udaugida, distrik Tigi Timur – Deiyai pada kamis, 09 agustus 2012 oleh sekelompok orang tak dikenal (OTK) dengan mengendarai kendaraan bermotor. Para pelaku yang bertopeng tersebut menodong keluarga dalam rumah dengan pistol, lalu mengumpulkan pengalas lantai “tikar” dan membakarnya. Akibatnya, keluarga yang sedang duduk dalam rumah menjerit ketakutan dan semua yang dialas dilantai hangus terbakar.

Peristiwa kedua; Pada kamis, 16 agustus 2012, pukul 19.00 wit terjadi penembakan di Obano, distrik Paniai Barat oleh orang tak dikenal (OTK) yang menewaskan seorang pedagang (Mustafa, 22 thn) dan 2 orang lainnya (Ahyar, 25 thn dan Basri, 22 thn) luka-luka. Akibatnya para pedagang non pribumi merasa tidak nyaman dan masyarakat Obano pada umumnya resah.

Peristiwa ketiga; Pembacokan 4 orang karyawan PT Dewa yang ber-camp di Gedeitaka Watiyai, distrik Tigi Timur - Deiyai oleh orang tak dikenal (OTK) pada minggu, 19 agustus 2012 malam. Akibatnya 2 orang karyawan langsung mati ditempat (Selsius Mamahi, 30 thn dan Henokh, 33 thn) dan 2 orang lainnya (Simson Atto, 37 thn dan Youke Patee, 38 thn) luka-luka. Perbuatan tidak manusiawi ini menyebabkan keresahan bagi masyarakat dibeberapa kampung disekitarnya.

Peristiwa keempat; Penembakan di Ujung Bandara Enarotali oleh orang tak dikenal (OTK) pada Selasa, 21 agustus 2012 lalu yang menewaskan Brigadir Polisi Yohan Kisiwaitoi, anggota Polres Paniai. Akhirnya aparat keamanan menembak puluhan peluru sebagai bentuk pelampiasan emosi mereka dan melakukan tindak sewenang-wenang yang bersasaran pada masyarakat sipil. Masyarakat semakin takut dan terpaksa melarikan diri ke rumah masing-masing dan para pedagangpun segera menutup kiosnya masing-masing.

Rangkaian peristiwa yang berpuncak pada tewasnya seorang anggota polisi tersebut menyebabkan macetnya seluruh aktivitas masyarakat di Kota Enarotali, Madi dan sekitarnya. Kantor-kantor di Madi (ibu kota kabupaten Paniai) dan Kota Enarotali tutup. Proses belajar mengajar di sekolah-sekolah macet “tidak berjalan”. Kendaraan umum baik taksi maupun ojek termasuk kendaraan pribadi dan dinas dari kota Enarotali ke semua jalur macet total. Sementara itu, pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Paniai pun tidak berjalan akibat para perawat dan pasien-pasien dipulangkan dengan paksa oleh aparat keamanan. Selain itu, masyarakat tidak bisa bepergian ke kebun. Mencari kayu bakar di hutan dan mencari ikan di danau dan kali bukan juga menjadi kebutuhan. Singkatnya masyarakat takut beraktivitas diluar rumah apalagi suasana ini terus diwarnai dengan bunyi-bunyi tembakan. Dalam suasana ini, masyarakat memilih lebih baik tinggal diam dalam rumah. Inilah situasi yang tercipta yang dialami oleh semua masyarakat di kota Enarotali, Madi (ibu kota Kabupaten Paniai) dan sekitarnya di Paniai.

Terciptanya situasi ini menyebabkan lumpuhnya seluruh aktivitas masyarakat dan pelayanan publik. Peristiwa keempat tersebut telah mengakibatkan korban materi, korban fisik maupun psikologis. Misalnya 3 rumah dibakar, 1 rumah dirusak, 7 speed boat dirusak dan 1 buah sepeda motor. 

Sementara itu, 3 warga diantaranya orang gila yang tidak ada kaitan dengan peristiwa yang terjadi ditangkap dan dipukul polisi lalu dilepaskan. Selain itu, 19 warga ditangkap dijalan raya dan di rumah mereka masing-masing ketika mereka sedang duduk bersama keluarganya. Diantaranya ada beberapa yang hanya diperiksa lalu dibebaskan, tetapi adapula yang dipukul hingga dibebaskan dalam kondisi muka penuh luka berlumur darah. Hal ini bukan hanya bersasaran pada orang-orang yang dicurigai, tetapi juga dialami oleh warga masyarakat yang tidak tahu menahu dengan persoalan tersebut termasuk orang gila, beberapa orang yang berstatus pegawai negeri sipil yang bekerja di Pemda Paniai.

Situasi yang tercipta ini sungguh-sungguh sangat menarik perhatian semua pihak terutama bagi yang peduli dengan soal-soal kemanusiaan. Oleh karena itulah, kiranya kita perlu kritisi bersama atas situasi ini. Pertama; siapa atau kelompok mana sebenarnya yang sedang bermain dibalik semua aksi di Paniai? Apakah benar kelompoknya Jhon Yogi, cs yang melakukan serangkaian aksi di Paniai sebagaimana yang dimuat dibeberapa media nasional? Barangkali disini perlu ada pembuktian berdasarkan fakta dilapangan yakni keterangan dari saksi mata dan olah TKP yang biasanya yang dilakukan oleh aparat keamanan (polisi) apalagi peristiwa keempat ini persis terjadi ditengah kota dan terjadi ditempat ramai, yakni di pelabuhan danau yang biasanya orang selalu ada. Juga peristiwa tersebut terjadi pada pagi hari (pukul 09.30 wit). Kedua; apa persoalan utamanya sehingga orang “pelaku” memilih mengambil tindakan tersebut sekalipun mengorbankan nyawa orang lain? Apakah persoalan yang berkaitan dengan keinginan merdeka? Apakah persoalan karena belum adanya lahan bisnis? Apakah persoalan ingin balas dendam menjelang peringatan 17 agustus? Ataukah karena persoalan hak ulayat? Ketiga; dengan siapakah persoalan tersebut dipermasalahkan? Siapakah sasaran sebenarnya dalam persoalan tersebut? Namun, dalam konflik antara aparat keamanan dengan TPN-OPM biasanya yang menjadi sasaran korban ialah masyarakat sipil atau orang-orang yang sebenarnya tidak tahu menahu dengan persoalan. Benarkah merekalah yang hendaknya menjadi sasaran utama dalam persoalan demikian? Disini kiranya orang harus membedakan siapa kawan dan siapa lawan dalam persoalan. Lantas, keempat; apakah orang entah siapapun dan darimanapun baik atas nama pribadi maupun kelompok haruskah mengedepankan kekerasan sebagai pendekatan yang terbaik dalam menghadapi persoalan? Apakah tidak ada jalan lain selain menempuh dengan jalan kekerasan? Namun, dalam situasi demikian dimana muncul konflik antara aparat keamanan dengan TPN OPM biasanya yang menjadi korban ialah masyarakat sipil atau orang-orang yang sebenarnya tidak tahu menahu dengan persoalan.

Bertitik tolak dari situasi yang tercipta pasca penembakan pada selasa 21 agustus 2012 tersebut, kamipun kiranya menggaris bawahi pengalaman penderitaan masyarakat Paniai yang dialami bertahun-tahun hingga kini. Bahwa masyarakat Paniai masih terus hidup dalam situasi tak menentu sejak daerah ini dianggap daerah operasi militer (DOM) hingga tahun 2002. Selama itu, masyarakat Paniai sungguh sangat menderita selama aparat keamanan beroperasi dengan dalil mengejar alm Bpk Tadius Yogi cs selaku Pimpinan TPN OPM Paniai. Demikian pula, peristiwa penyerangan markas TPN-OPM di Eduda oleh Densus 88 pada oktober 2011 lalu yang menyebabkan masyarakat terpaksa mengungsi besar-besaran selama berbulan-bulan meninggalkan kampung halaman. Akibatnya tidak sedikit korban materi milik masyarakat dan nyawa manusia menjadi korban sesaat. 

Dalam suasana ketakutan warga akan adanya penyerangan balik oleh TPN-OPM terhadap TNI/POLRI masih menjadi kekuatiran masyarakat tersebut, kini masyarakat dikagetkan dengan rangkaian aksi. Rangkaian aksi yang terjadi belakangan ini menyadarkan masyarakat akan ingatan peristiwa masa lalu. Akhirnya suasana hati dan pikiran masyarakat kembali diwarnai dengan kekuatiran dan ketakutan. Orang merasa tidak bebas beraktivitas ketika mendengar informasi akan adanya penambahan pasukan di Paniai. Masyarakat cemas ketika mendengar aparat keamanan akan mengambil langkah untuk mengejar kelompoknya Jhon Yogi, cs. Lantaran, apakah yang akan terjadi jikalau pasukan bergerak mengejar kelompok Jhon Yogi, cs? Ini selalu menjadi pergumulan masyarakat di Paniai dalam benak pikirannya.

Menyadari akan pengalaman hidup masyarakat Paniai selama ini yang membuat masyarakat terus hidup dalam rasa tauma dengan peristiwa masa lalu. Demikian pula, situasi yang tercipta ditengah masyarakat Paniai saat ini yang masih diwarnai dengan keresahan, maka beberapa hal perlu disimak bagi semua pihak terutama para pengambil kebijakan di negara Republik Indonesia sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia termasuk kita di Tanah Papua.

Pertama; Masyarakat Paniai pada umumnya hingga kini masih trauma dengan pengalaman masa lalu dan rangkaian aksi akhir-akhir ini justru membuat masyarakat bertambah panik dan takut beraktivitas bebas. Oleh karena itu, penambahan pasukan di Paniai sebagaimana yang diungkapkan Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Polisi Johannes Nugroho Wicaksono, pada kamis (23/8/2012) sebaiknya ditinjau kembali. Hal ini disebabkan karena kehadiran pasukan di Paniai justru akan menimbulkan ketakutan warga masyarakat apalagi kehadiran pendatang (kaum laki-laki) tanpa pekerjaan yang jelas di Paniai seringkali muncul image negatif “curiga” dari masyarakat pribumi terhadap mereka.

Kedua; Pengejaran terhadap kelompoknya Jhon Yogi, cs sebagaimana yang diungkapkan Menkopolhukam, Djoko Suyanto pada kamis (23/8/2012) di Jakarta hendaknya perlu diklarifikasi terlebih dahulu; siapa yang menjadi sasaran utama dalam pengejaran dimaksud. Hal ini kami katakan demikian karena pengalaman membuktikan bahwa aparat keamanan biasanya tidak membedakan siapa sebenarnya yang menjadi sasaran dan dimana sasaran utama keberadaan orang yang dikejar. Akibatnya masyarakat sipil yang sedang beraktivitaslah yang menjadi korban. Aparat keamanan (polisi) hendaknya menjadikan praduga tak bersalah menjadi perhatian utama dalam situasi demikian dan tidak menggunakan kekerasan. Hal ini penting agar warga masyarakat yang tak bersalah atau yang tidak ada kaitan dengan persoalan, tidak terus menjadi korban.

Ketiga; Korban kekerasan selama ini baik korban jiwa, korban penganiayaan, korban materi berupa apa saja akibat perbuatan orang-orang yang tidak bertanggungjawab belakangan ini sungguh sangat disesalkan, karena tidak seorangpun diberi kewenangan untuk mencabut nyawa atau mengambil hak milik orang lain. Perbuatan ini merupakan tindakan kejahatan yang semestinya diberantas atau dihilangkan semua pihak. Di era demokrasi ini, orang harus meninggalkan kekerasan karena tidak ada satu pasal atau satu ayat pun dalam aturan atau hukum di negara kita yang mewajibkan seseorang melakukan kekerasan terhadap sesama manusia, kecuali dengan kehendak bebas seseorang memilih bertindak secara kekerasan, alias melanggar aturan dan hukum. Disini orang harus kembali pada aturan dan hukum negara maupun agama. Pelaku kekerasan harus banting stir untuk kembali pada jalur untuk memanusiawikan diri sebagai manusia.

Keempat; Kekerasan bukanlah cara menyelesaikan masalah, tetapi justru akan menambah persoalan baru. Ini hendaknya menjadi prinsip utama dalam hidup berbangsa dan bernegara agar kita terus membina masyarakat yang demokratis. Oleh karena itu, pendekatan represif baik oleh TNI/POLRI maupun TPN OPM haruslah dihentikan di Paniai dan Tanah Papua pada umumnya. Semua persoalan baik pribadi maupun kelompok harus diselesaikan dengan mengedepankan pendekatan persuasif. Bukankah negara kita ialah negara demokrasi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia demi mewujudkan perdamaian dunia? Disini tidak hanya dibutuhkan peran militer tetapi juga dibutuhkan peran pemerintah. Pemerintah hendaknya pro aktif dalam melihat dan menangani semua persoalan-persoalan yang mengarah pada jatuhnya korban warga masyarakat. Dengan demikian, sebaiknya semua persoalan di Papua termasuk persoalan yang muncul di Paniai akhir-akhir ini harus diselesaikan melalui komunikasi yang bermartabat atau dialog. Dalam hal ini, kiranya dibutuhkan fasilitator yang memfasilitasi kedua belah pihak untuk mengungkapkan dan menyelesaikan persoalan melalui dialog yang bermartabat. Ini merupakan kebutuhan utama di negara kita agar segala persoalan dapat kita menyelesaikannya secara demokratis dengan sikap saling menghargai sebagai makhluk bermartabat. Semoga kebiadaban menjadi musuh bersama dimasa keadaban kini

Kamis, 20 September 2012

All the Ingredients for Genocide: Is West Papua the Next East Timur??

0 komentar

All the ingredients for genocide: is West Papua the next East Timor?

8fqyfzs9-1347427824
West Papuan activists protesting at the Hague for independence of the Indonesian-held province.Apdency/Wikimedia Commons
Allegations that Australia is funding death squads in West Papua have brought the troubled province back to Australian attention.
Blanket denials by both Indonesian and Australian governments – standard policy for such reports in the past, no longer cut the mustard.

The players respond

The killing of Papuan activist Mako Tabuni by Indonesian police was for Jakarta a legitimate operation against a violent criminal shot while evading arrest. That Tabuni bled to death from his untreated wounds while in police custody did not rate a mention.
The Australian response was more measured. Foreign Minister Bob Carr took the allegation that Tabuni had been assassinated seriously because the partially Australian funded and trained elite anti-terrorist organisation, Densus 88, was accused of playing a role in the killing.
Bob Carr raised the issue of human rights with foreign minister Marty Natalegawa in June this year in his first official visit to Indonesia EPA/Adi Weda
For once there was a direct Australian connection to the human rights abuses that have been happening in West Papua for decades. Australian taxpayers may indeed be helping to fund Indonesian death squads. Carr called on the Indonesians to make a fullenquiry into the affair.
The Indonesian response was to appoint Brigadier General Tito Karnavian as Papua’s new Police Chief. This sends the clearest possible message that Jakarta intends to deal with the Papuan separatists’ insurgency with lethal force, rather than diplomacy and negotiation.
Many activists have been arrested and a concerted effort is underway to break the back of the urban based, non-violent Papuan rights organisations, such as Tabuni’s KNPB (Komite Nasional Papua Barat).

Independence

Most Papuans would favour independence over Indonesian occupation. This is a recipe for ongoing military operations, repression and human rights abuse as the Indonesian military and police hunt down “separatists”.
This seems to suit most players. West Papua is the Indonesian military’s last zone of exclusive control after the loss of Aceh and East Timor. It’s a fabulous prize to control as extensive (legal and illegal) logging, huge mining projects and massive development funds provide rich pickings for those in control, while incoming migrants are drawn in by economic opportunities unavailable elsewhere. It is really only the Papuans who are suffering in this massive free-for-all.
The plight of the Papuans is slowly but surely seeping into the global consciousness. While modern technology allows West Papua’s riches to now be exploited, it also allows the stories and images of Papuan suffering to emerge. Increased Indonesian militarisation and repression only exacerbate this trend.

A new East Timor?

This is the same trajectory that East Timor’s long struggle for freedom followed: an overwhelmingly dominant military on the ground but a growing sense of outrage within the international community, especially in the Western nations. This led Indonesia to be treated almost as a pariah nation and underpinned East Timor’s rapid shift to independence in the wake of Suharto’s fall.
While no other nation supports West Papuan independence, except Vanuatu sporadically, and the rule of the Indonesian state appears unassailable, a dangerous dynamic is developing.
As the situation in West Papua deteriorates, human rights abuses will continue, with the very real prospect of a dramatic increase in violence to genocidal levels.
The ingredients are there: stark racial, religious and ideological differences coalescing around a desire for Papuan resources and Papuans’ land, on one hand, and independence on the other. Indeed many Indonesians, as well as the Indonesian state, already view Papuan separatists as traitors.
This should rightly concern Australians: we are in a quasi-military alliance with Indonesia through the 2006 Lombok Treaty. We are a player, albeit minor, in these events. When there is a divide in the opinion of the political, military and bureaucratic elite, and that of the wider population, as occurred in Australia over Indonesia’s occupation of East Timor, the majority view tends to eventually prevail. And the majority view, formed by such programmes as the ABC 7.30 report, is moving to one of sympathy for the Papuans and antipathy towards Indonesia for what many see as a re-run of East Timor’s disastrous occupation. This does not bode well for relations between the two countries.

Words or bullets?

Indonesia runs the risk of having its widely heralded democratisation process stained by the Papuan conflict. There is also the fact that while West Papua remains a military zone the Indonesian army will continue to be unaccountable and largely outside of civilian control, stymieing anti-corruption efforts not just in Papua but through out the country. The consequences for the Papuans are abundantly clear: no basic rights and a life lived in fear.
While there are no quick or easy solutions to this conundrum, one choice is manifestly clear: does the answer lie in more words or more bullets?
Jakarta has so far rejected meaningful dialogue in favour of a beefed up security approach. Australia, and Australians, should forcefully criticise this as being against our own, and Indonesia’s (let alone the Papuans’) long-term interests.
If the West Papuan conflict continues to follow the East Timor trajectory this problem will continue to grow, relations will become strained and tensions rise. It’s worth remembering that Australia and Indonesia very nearly came to blows over East Timor. Let’s learn from the past and encourage, and promote, meaningful dialogue between all parties.

Indonesian Police's Pot of Gold in Papua

0 komentar

Indonesian Police's Pot of Gold in Papua
John McBeth - Straits Times | September 20, 2012
A phalanx of armed policemen blockade a road while a police vehicle burns in the background as tribal clash erupted anew between two Papuan tribes in Kwamki Lama village in Mimika district located in Indonesia's restive Papua province on June 18. (AFP Photo/Tjahjono Eranius).
SHARE THIS PAGE
Share with google+ :


Post a comment 
Please login to post comment

Comments
Be the first to write your opinion!
It is time for the critics to forget about the Indonesian military's businesses for a moment and look at the money-making ventures of the national police that assumed responsibility for Indonesia's internal security over a decade ago.

During that time, the police have taken over many of the privileges and patronage systems which formerly earned the military some of its off-budget income but without earning any of the public trust the military still retains to a large degree.

By failing to investigate police generals with million-dollar bank accounts and only reluctantly intervening in yet another open war with the Anti-Corruption Commission, President Susilo Bambang Yudhoyono appears to have defined the limits of the war on graft. Just as disturbing is a less documented development thousands of kilometers away in Papua, where the police have become the central player in the territory's lucrative artisanal gold-mining industry.

The police and the military initially shared the spoils of the $100 million-a-year panning operation in the river-borne rock waste from Freeport Indonesia's giant Grasberg copper and gold mine. Now the police are reportedly in total control.

Panners first appeared in the waste in 2004, at the same time the police took over guard duty at the mine, which had been the army's job since riots in 1996 led to the government throwing a security cordon around what it regards as a national asset.

For all the controversy that continues to surround the world's most profitable mine, there is a marginally effective government administration in the Mimika region where Freeport has made its home for the past four decades.

Not so in a remote corner of Paniai district, 100 km to the north-west. There, poorly trained local police are acting as a private security force for non-Papuan bosses controlling an alluvial gold rush along the Degeuwo River.

What has been called a struggle against separatist rebels is, in fact, mostly violence associated with 15,000 panners who in the mid-2000s began flooding into an area reachable only by helicopter or after a five-day trek from Enarotali, Paniai's capital.

The lack of genuine law enforcement means mercury is being used to separate the gold, causing serious health problems for the miners and their families, and poisoning the environment.

In the midst of all this is Australian company West Wits, working to establish a hydraulic alluvial operation along a stretch of the river where the miners have so far extracted 2,835 kg of gold, employing only primitive techniques. Apart from drilling farther afield for the hard rock source of the alluvial deposit, the firm plans to be producing 567 kg a year by 2014.

A new International Crisis Group report says police in neighboring Nabire restrict access to the Degeuwo workings. The police impose fees on the flow of goods and take protection money from the bars, karaoke joints and shops along the river.

The violence stems largely from the struggle for control of the trade and disputes with indigenous landowners who, on occasion, have sought help from ragtag Free Papua Movement (OPM) elements — even if they do engage in extortion and other criminal activity. OPM is a militant group coordinating the Papuan struggle against Indonesian rule.

That, in turn, has led to a disproportionate response called Operation Matoa, a major push against a handful of poorly armed rebels. Involving as many as 1,000 police and soldiers, some brought in from Jakarta and Jayapura, it saw over 10,000 ethnic Mee, Moni and Wolani tribesmen displaced. Only after a face-to-face meeting between President Yudhoyono and religious leaders was the operation called off last December.

Back in the New Order days, soldiers were often used to enforce land grabs by former president Suharto's grasping family members and his circle of business cronies across many parts of the country.

There are signs those days have returned. In April last year, police protecting a privately owned Lampung palm oil plantation were implicated in the deaths of seven local farmers, the latest victims in a long simmering land dispute dating back to 2009.

Last December, three people died and dozens more were wounded when police broke up a peaceful demonstration against the issuance of a mining exploration permit in Bima, West Nusa Tenggara.

In July this year, more than 100 police officers were questioned for their part in the fatal shooting of land rights protesters at a South Sumatra sugar plantation.

For a country rich in natural resources, all this is hardly surprising when market forces conspire to overpower the underfunded guiding hand of the state.

Reprinted courtesy of The Straits Times
 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com