Rabu, 23 Mei 2012

Koalisi LSM HAM Rencana Audience Dengan Kakanwil Hukum dan HAM Wilayah Papua di Abepura-Jayapura-PAPUA

0 komentar

Ilustrasi LP
Jayapura- Koalisi LSM untuk kasus kekerasan di lembaga Pemasyarakatan (LP) Abepura tanggal 30 April 2012 yang terdiri dari Kontras Papua, LBH Papua, Elsham Papua, ALDP, KPKC Sinode GKI dan BUK melakukan pertemuan untuk menindaklanjuti hasil pertemuan pertama yang di laksanakan pada tanggal 18 Mei 2012. “Hari ini saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman  yang telah  datang untuk mendiskusikan kembali agenda pertemuan kita  minggu lalu” .Ujar Olga Hamadi Koordinator Kontras Papua yang memberikan pengantar pertama diskusi hari ini (22/05/2012)
Olga menambahkan bahwa ada beberapa point penting yang akan kita periksa bersama  kembali agenda yang telah di susun yaitu rencana melakukan pertemuan dengan Kakanwil Hukum dan HAM , menyelesaikan laporan bersama . tapi yang terpenting bagiamana kepastian pertemuan yang rencananya hari kamis tanggal 24 Mei 2012.
Berkaitan dengan itu Sem Rumbrar dari Elsham Papua menyampaikan dirinya telah mengirimkan surat untuk permohonan audience dengan Kakanwil . Dan saya akan memastikan besok jika sudah fix akan saya hubungi sesegara mungkin. Ujarnya singkat.
Theo van de Broek Pejabat Sementara Direktur SKP-KC Jayapura menyampaikan laporan yang di buat oleh lembaganya bisa di katakan sebagai laporan awal dan mengakui masih terdapat beberapa yang harus di klarifikasi atau di lengkapi.  Di tambahkannya laporan ini bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar praktek-praktek kekerasan yang selama ini terjadi di Lembaga pemasyarakatan Abepura. Oleh karena itu, menurutnya ini momentum yang tepat  untuk bertemu dengan Kakanwil.
Dalam laporan itu pengakuan korban kekerasan menjadi sangat penting untuk di tuliskan bukan pengakuan dari pihak-pihak lainnya. Ujar Matius Rumbrapuk dari Elsham Papua. Untuk itu menurutnya perlu ada wawancara mendalam dengan pihak korban.Sekali lagi ini sangat penting agar laporan yang kita sajikan bisa di pertanggung jawabkan.. Katanya dengan tegas.
Di akhir diskusi, Tim koalisi merumuskan tujuan audience dengan Kakanwil Hukum dan HAM Provinsi Papua . Ada 4 (empat point ) yang telah di sepakati  yaitu pertama meminta pertanggung jawaban hukum atas pelaku kekerasan tersebut. Kedua perlu ada jaminan perlindungan terhadap 42 orang korban kekerasan yang ada di LP Abepura. Ketiga memnita jaminan agar tidajk terjadi keberulangan peristiwa kekerasan serupa. Ke empat perlu ada perubahan pola pendekatan sipir terhadap para tahan /narapidana,. (Tim/ALDP)

Sidang UPR PBB untuk Kondisi HAM Indonesia

0 komentar

Inilah Ringkasan Kontras Sidang UPR PBB untuk Kondisi HAM Indonesia

Pemerintah Indonesia Defensif
 
Sidang UPR PBB (foto kontras)
KontraS mengapresiasi negara-negara yang secara aktif memberikan pertanyaan dan rekomendasi perbaikan kondisi HAM di Indonesia lewat sidangUniversal Periodical Review (UPR) 2nd Cycle di Jenewa pada 23 Mei 2012. Namun seperti yang sudah diduga, Sesi UPR II ini masih dipenuhi jawaban-jawaban yang sama dari Pemerintah Indonesia pada Sidang UPR I tahun 2008. Itu artinya tidak ada perubahan situasi penegakan HAM di Indonesia. Mengingat kasus-kasus intoleransi, impunitas dan kekerasan terhadap pembela HAM (termasuk di Papua) masih menjadi problem-problem dominan yang belum diselesaikan.


Lewat sidan UPR terlihat jelas bahwa komunitas internasional memahami stagnasi penegakan HAM di Indonesia. Mereka mampu menggarisbawahi isu-isu HAM aktual di Indonesia. Terbukti dari pertanyaan-pertanyaan dan rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan kepada Delegasi Indonesia.

KontraS mencatat sepanjang 3 jam sidang berlangsung dan 3 kali sesi tanya jawab, secara umum Dewan HAM PBB mengapresiasi modalitas institutional HAM yang dimiliki Indonesia (seperti adanya aturan dan lembaga terkait penegakan HAM) dan stabilnya transisi demokratisasi.

 Terdapat sejumlah isu yang menjadi perhatian sejumlalh negara. Yang paling banyak dijadikan pertanyaan adalah kondisi perempuan dan anak, isu pendidikan, isu kesehatan, keberagaman dan intolerensi, reformasi hukum (Perubahan KUHP, Sistem Peradilan Militer dan ratifikasi sejumlah aturan internasional seperti Statuta Roma soal Pengadilan kriminal Indonesia, Aturan Tambahan soal anti penyiksaan dan konvensi Pencegahan Penghilangan Orang Secara Paksa). Sementara sejumlah isu lainnya mendapat perhatian dari sejumlah negara seperti mekanisme HAM regional di ASEAN, impunitas terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat seperti kasus-kasus dimasa lalu, kondisi perlindungan pembela HAM, reformasi sektor keamanan dan situasi Papua.

KontraS memberikan catatan khusus atas sejumlah hal dibawah ini, yang kami anggap cukup seharusnya mendapatkan perhatian, pertama, terkait masalah kebebasan beragama dan intoleransi yang berujung pada kekerasan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menlu Marty disidang UPR menegaskan bahwa Indonesia menjunjung tinggi kebebasan beragama dan berkeyakinan. 

Negara tidak akan campur tangan untuk urusan keyakinan dan agama warganya. Prinsip ini juga berlaku pula untuk masalah Ahmadiyah dan minoritas agama/keyakinan lainnya di Indonesia. Konstitusi dan penegakan hukum menjadi alat yang akan digunakan dalam menjamin perlindungan ini. Faktanya, sampai sejauh ini, praktik intoleransi semakin merajalela di Indonesia dan komunitas internasional bisa menangkap gejala tersebut. Situasi Ini menunjukkan bahwa klaim Indonesia sebagai negeri yang plural dan toleran sudah tidak menjadi citra yang bisa diandalkan di muka dunia.
Kedua, ketiadaan akuntabilitas terhadap pelanggaran HAM serius seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, penyiksaan, atau penghilangan paksa. Perwakilan negara-negara di sidang UPR juga terus mempertanyakan posisi penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang Berat di masa lalu. Termasuk wacana tentang Permintaan Maaf Resmi Indonesia yang sedianya akan dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada korban pelanggaran HAM dalam waktu dekat. Menlu Marty Natalegawa tidak memberikan respons atas pertanyaan dan wacana tersebut.

Para delegasi sidang UPR juga terus mempertanyakan lambannya proses revisi UU KUHP, termasuk tentang penjelasan definisi tindak penyiksaan. Apalagi forum klarifikasi ini juga masih banyak mempertanyakan maraknya tindak penyiksaan yang dilakukan aktor-aktor keamanan (khususnya TNI dan Polri). Dalam rekomendasinya, dorongan untuk segera meratifikasi OPCAT juga menjadi tuntutan komunitas internasional.
Ketiga, masalah Papua terus dibahas bukan dalam kerangka masalah politik, tetapi lebih pada eskalasi kekerasan yang terus berlangsung. Termasuk pada aspek akuntabilitas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan, seperti militer misalnya. Para delegasi juga banyak bertanya seputar perkembangan reformasi sektor keamanan. Menjawab problem Papua, 
Menlu Marty kerap berdalih bahwa sepanjang pengetahuannya Papua saat ini dalam kondisi stabil. Pemerintah Indonesia juga telah memiliki skema pembangunan di bawah kebijakan otonomi khusus yang diterapkan di Aceh dan Papua. Menlu Marty juga menambahkan keberadaan Polisi dan TNI di Papua dan Aceh tidak menyalahi prosedur, karena merupakan bagian dari mekanisme law and order. 

Keempat, ada sedikit perkembangan positif yang ditegaskan oleh Pemerintah RI, seperti rencana ratifikasi instrumen-instrumen HAM internasional penting: Statuta Roma dan Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Menlu Marty menerangkan bahwa untuk ratifikasi instrumen HAM harus ditentukan jadwal pengesahannya. 
Selain itu Pemerintah RI juga telah mengundang beberapa Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Kesehatan, Perumahan yang Layak, dan Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat. Sayangnya, dengan mingingat begitu tingginya angka kekerasan atas nama agama dan kepercayaan, pemerintah Marty tidak menegaskan rencana untuk mengundang pelapor khusus PBB untuk isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Padahal agenda tersebut telah dilayangkan sejak tahun 1996. Namun hingga belum ada tindak lanjut dari Pemerintah RI.

Dari keseluruhan tema situasi HAM dalam sidang delegasi UPR Indonesia hari ini, KontraS melihat banyaknya dukungan, apresiasi, masukan positif untuk Indonesia atas proses pembangunan institusional dan perbaikan kondisi di bidang HAM. Akan tetapi KontraS masih belum melihat adanya jawaban yang baru dari pemerintahan Indonesia yang bisa menunjukan inisiatif penuntasan kasus-kasus kekerasan, termasuk belum ada perhatian detail pada penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Sebagai organisasi HAM yang turut memantau kemajuan HAM Indonesia, KontraS akan terus mendesak janji-janji politik HAM Pemerintah RI untuk dipenuhi dengan tolak ukur menurunnya kekerasan dan negara makin akuntabel. Kami menganggap bahwa janji-janji yang disampaikan oleh Marty Natalaegawa harus ditunaikan oleh Pemerintah Indonesia. Termasuk dengan melibatkan peran masyarakat sipil dan komunitas internasional.

Jakarta, 23 Mei 2012

Badan Pekerja KontraS

Haris Azhar
Koordinator

Selasa, 22 Mei 2012

Bintang Kejora Ekspresi Ideologis dan Identitas Kepapuaan di Tanah Papua

0 komentar

Andawat-Di Papua ada bendera berkibar dimana-mana,puluhan bahkan ratusan jumlahnya dan pemerintah Indonesia menjadi lebih panic dari biasanya. Di waktu-waktu tertentu sudah pasti akan ada bendera Bintang Kejora(BK) yang berkibar,baik itu dikibarkan secara terbuka oleh rakyat Papua hingga berkibar dengan cara-cara yang kadang masih dipertanyakan,siapa yang sebenarnya mengibarkan atau meletakkannya pada saat operasi penyisiran seperti pasca aksi kekerasan yang terjadi di BTN Tanah Hitam Jayapura pada Agustus 2011.
Maka seharusnya kejadian tersebut tidak lagi membuat pemerintah Indonesia khawatir dan panik.Seharusnya pemerintah sudah mengetahui permasalahan mengapa BK selalu dikibarkan,kecuali kalau memang pemerintah tidak mau tahu bahkan mencoba untuk mendesign scenario lain terkait dengan berbagai cara BK dikibarkan.
Satu saja prespektif pemerintah Indonesia,mengibarkan BK adalah makar dan karenanya harus diproses secara hukum seperti yang dialami oleh dr.Thomas Wanggai 14 Desember 1988, Phillep Karma 3 Juli 1998 dan 1 desember 2004.Bahkan ada juga dengan menggunakan pendekatan pembunuhan di luar proses hukum/extra judicial killing. Terjadi aksi kekerasan,orang ditembak,meninggal dan tidak ada pertanggungjawaban apapun dari negara sebagaimana yang dialami Opinus Tabuni saat Hari Pribumi 9 Agustus 2008 di Wamena dan terhadap Theo Karoba saat pulang menghadiri demonstrasi menentang hari Integrasi Papua tanggal 1 mei 2012 di Abepura serta kejadian lainnya.
Sebenarnya tiap kali bicara soal Papua, selalu ada kaitannya dengan BK oleh karena itu BK ada dimana-mana,bukan saja dikibarkan saat melakukan demonstrasi tapi juga dalam berbagai hal.Kadang diekspresikan sangat nyata dan kadang dikombinasikan dengan berbagai aksi atau peristiwa lainnya.BK menjadi ide dasar dari pesan ideologis  yang menyerap ke berbagai aktifitas lainnya.
BK ada di dalam buku-buku ilmiah,di berbagai media massa,komputer,dompet,laptop,handphone,topi,t-shirt, cat rumah dan pagar atau pada rajutan di tas. BK juga dibentangkan saat orang menari,di dinding sekolah juga menjadi nama anak.BK juga ada pada hiasan kue ulang tahun saat ibadah 1 desember 2004 yang sempat membuat polisi panic,menyita kue tersebut dan melakukan pemeriksaan di Polsek Sentani.Bahkan salah satu SMA Negeri di kota Jayapura mendesign t-shirt sekolah mereka dengan warna dasar BK dan menaruh satu bintang di lengan baju.
BK menjadi salah satu bentuk ekspresi terdalam dari orang Papua untuk menunjukkan identitas kepapuannya sekaligus sebagai bahan kampanye untuk menggugat penyelesaikan permasalahan mendasar di tanah Papua.Maka sangat fatal kalau BK hanya dilihat sebagai alasan untuk mengadili dan menghukum orang Papua apalagi untuk menjustifikasi kekerasan di Papua.
Menangkap dan mengadili orang Papua karena BK tidak akan pernah menjadi jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah di Papua.Proses hukum tidak akan membuat orang Papua menjadi ciut bahkan semakin banyak bendera yang dikibarkan dimana-mana.Sebelumnya saat demonstrasi hanya ada satu BK kini puluhan bahkan ratusan BK berkibar dibanyak tempat.Artinya tuntutan hukum tidaklah menakutkan lagi buat rakyat Papua.
Termasuk dengan menghadang berkibarnya BK di Papua secara yuridis formal. Kenyataannya meskipun pemerintah telah mengeluarkan PP 77 tahun 2007 yang intinya melarang digunakannya BK sebagai lambang daerah namun BK tetap berkibar.Bagi orang Papua mengibarkan BK tidak perlu menunggu persetujuan pemerintah karena BK sudah mengakar kuat sebagai salah satu bentuk ekspresi terdalam dari identitas kepapuaan.
Akibatnya proses hukum yang terus dipaksakan oleh pemerintah Indonesia justru akan mempermalukan pemerintah Indonesia sendiri apalagi dengan menggunakan pendekatan kekerasan di saat pemerintahan Indonesia dibawah SBY sedang dipuji masuk dalam barisan negara demokrasi baru di Asia dan secara khusus di tahun 2011 hingga 2012 SBY telah mengeluarkan beberapa pernyataan tentang Papua, membangun Papua dengan hati dan menyelesaikan masalah Papua tanpa kekerasan dengan mendukung dialog.
Persoalan di Papua harus diselesaikan dari akar persoalannya bukan menyelesaikan dampak-dampaknya dengan kekerasan seperti itu. Aksi kekerasan hanya akan menguntungkan pihak tertentu yang memang menghendaki Papua terus dalam keadaan kacau balau dan itu tidak akan berhasil mewujudkan rakyat yang patuh atau negara yang dikehendaki rakyatnya.Setiap aksi kekerasan tidak ada korelasi yang positif dengan argumentasi mempertahankan integritas kenegaraan dan kebangsaan karena justru akan mencelakai NKRI yang penuh dengan symbol-simbol kearifan mulai dari Pancasila hingga Pembukaan UUD 45.
Oleh karenanya itu bukan saja pernyataan SBY yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah di Papua tapi yang terpenting adalah dukungan konkrit dari berbagai institusi di bawahnya yang bertanggungjawab langsung di Papua. Pemerintah pusat harus mampu menata berbagai institusi yang berperan di Papua untuk bekerja dalam satu agenda bersama dan mampu menjamin penyelesaian masalah di Papua tanpa kekerasan.(Andawat/AlDP)

Kamis, 17 Mei 2012

INDIA: Intitutional Peril and MURDEROUS POLITICS

0 komentar

INDIA: Institutional peril and murderous politics

  
FOR IMMEDIATE RELEASE
AHRC-STM-104-2012
May 17, 2012
A Statement by the Asian Human Rights Commission
INDIA: Institutional peril and murderous politics
The assassination of Mr. T. P. Chandrashekharan in Kerala on 4 May is another example of the murderous nature of politics in India. The police investigation has revealed that hired assassins executed the murder. They hacked Chandrashekharan about 50 times on his face in a public road and left him for dead. It is widely alleged that the top brass of the Communist Party of India (Marxist) in Kerala are involved in the planning of the crime, a suspicion that carries considerable weight given the background that political parties resort to gruesome crimes to settle rivalries in the country.
The accusation carries additional weight today, that the Local Committee Secretary of the CPI (M) was arrested yesterday in Kerala having charged with the crime. It is reported that the Secretary has confessed to the police that he was directly involved in the murder, for and on behalf of the CPI (M).
One of the first responses by the CPI (M) concerning the May 4 murder is that "the party is not stupid to murder someone when a bye-election is around the corner" in one of the constituencies of the state. The statement implies that the party would have done so had there been no elections. The banality of the statement is shocking.
For Indians such assassinations are no news as it happens often. However, what is least discussed and debated is, that it is these political forces that play a considerable role in formulating and shaping the operational architecture including policies of the justice institutions in India, most importantly of the police and prosecution.
The control political parties have (CPI (M) in the case at hand) over the police was blatantly visible during the early stages of investigation in the Chandrashekharan murder case. The Inspector General of Police, within 72 hours after the incident, said that the murder is for private gains. The top brass of the CPI (M) supported the statement immediately, both proven wrong at this stage of the investigation.
Worse, is the fact that calls were made before and after the execution of the murder to prisons in Kerala. It shows that inmates have illegal access to communication devises, that the calls were made at night, and also to the alarming fact that convicts could plot crimes within the "safety" of the prisons. It is not rare that convicts are let off from prisons illegally to commit crimes and return, a perfect alibi. An inmate "sponsored" by a political party receiving preferential treatment in prisons is common practice in India.
The Asian Human Rights Commission is of the belief that changes in India, concerning the country's human rights profile is impossible without radical changes brought in concerning law-enforcement agencies. Rhetoric like 'national security requires strong agencies' is nonsense given how these agencies operate in real time.
Yesterday, a group of illegal Bangladeshi workers were arrested in Kerala. All of them said that they crossed over to India after bribing Rupees 500 each to the Border Security Force. The AHRC has reported enough number of cases over the past eight years where complete details of corruption and other crimes committed by the BSF is reported, globally. On each occasion authorities in India were informed about the incident calling for an investigation. None of these cases have so far been investigated; neither has incidents of crime committed by the BSF decreased.
That a distant state like Kerala from the Indo-Bangladesh border has thousands of illegal immigrants indicates how secure is the country's border at the hands of demoralised and corrupt security agencies. Lack of discipline within the rank and file of these agencies, generated from the impunity for crimes they commit, places national security in absolute peril.
The statement issued yesterday, once again by the chief of police in Kerala, that 'the Secretary arrested in the Chandrashekharan murder case should not be tortured in custody since the case is of very high profile' paints a grim picture of the police. That the police chief was 'cautious' to warn his subordinates, that torture of a certain person is not acceptable in this case means that it is routine practice otherwise or does it indicate not to hurt political masters? None in India was bothered about this statement.
Where do concepts like fair trial, presumption of innocence and the rule of law stand when torture is in fact the modus of investigating crimes? Even if a crime is investigated scientifically, though on rare occasions, what chance do such cases have at trial given the nature of prosecution in India. Prosecutors are appointed, transferred and removed from service at the whim of political parties. They are the most incapable and disinterested persons in the profession, and often highly corrupt. In fact an able and honest prosecutor is an exception in India. Institutional reforms in India are meaningless without addressing these fundamental issues.
It is this that a former police officer sought to address by approaching the Supreme Court of India. 'The Prakash Singh case' as it is referred to now, and the directions of the Supreme Court of India in the case are violated openly throughout the country. Wherever a Police Complaints Authority has been created (per Prakash Singh case) is as good as non functional and in some places functions as if they are the lawyers for the police.
In Thrissur district of Kerala for example, the authority takes special pride in dismissing complaints against police officers, of which a member is none other than the District Superintendent of Police. Somehow, it has not occurred for the Supreme Court to take actions against the governments that have either not complied by the Court's orders or have done so, only to undermine it, as it is the case of Government of Kerala.
It is institutions of the above nature that the ordinary people have to depend to file complaints, investigate them and further to provide protection to their lives and property. It is these very same institutions that they have to develop trust with for the human rights scenario in India to improve. It is this very police that Indians have to depend upon to report corruption, land grabbing, caste-based discrimination, malnutrition and other crimes, irrespective of their nature. It is the same institution that the government should depend to deal with extremism of all forms.
But with murderous political parties scripting operational framework for the police and prosecutions is no way to address the deep-rooted distrust that the people have developed against these institutions. Neither is it of any good in blaming just the officers who man these institutions. The debate should be, as to what the people expect of the two most important public institutions in India - the law-enforcement agencies and the prosecution. Perhaps it is for some of the few honest minds that serve within these institutions to start the ball rolling.
# # #
About AHRC: The Asian Human Rights Commission is a regional non-governmental organisation that monitors human rights in Asia, documents violations and advocates for justice and institutional reform to ensure the protection and promotion of these rights. The Hong Kong-based group was founded in 1984.
For information and comments contact: 
In Hong Kong: Bijo Francis, Telephone: +852 - 26986339
Email: india@ahrc.asia
Picture courtesy: Own sources, AHRC

Safety vs Credibility: West Papua Media and the Challenge of Protecting Sources in Dangerous Pelaces in West Papua

0 komentar

Safety vs credibility: West Papua Media and the challenge of protecting sources in dangerous places

Volume 18, Issue 1

May, 2012

From page 
69
 to page 
82
Davies, Kayt (2012). Safety vs credibility: West Papua Media and the challenge of protecting sources in dangerous places. Pacific Journalism Review, 18(1): 69-82.
Author(s): Kayt Davies
Publication date: 
May, 2012
West Papua Media (WPM) is an innovative media outlet established in 2007 in response to the ongoing human rights crisis in the Indonesian provinces that self-identify as West Papua. The context of its establishment included rising hope about the potential of citizen media to empower repressed publics, complaints from mainstream media about the difficulty of establishing the credibility of reports emerging from the provinces, a ban on foreign media, and political moves by Australia to prioritise its relationship with the Indonesian government over demanding an end to oppressive military behaviour in West Papua. This article documents the strategies WPM has pioneered to bolster its credibility and protect its journalists and sources who work and live in an oppressive context. It also contextualises these strategies in relation to standard journalism processes (Lamble, 2004, 2011); current best practice about the protection of journalists in conflict zones (Cramer, 2009); and emerging concepts of global journalism ethics (Ward, 2010).

AKTIVIS HAM DARI PAPUA DITAHAN DI VANUATU

0 komentar

Aktivis Anti-Indonesia di Vanuatu Ditahan


REP | 17 May 2012 | 14:46Dibaca: 279   Komentar: 1   1 dari 1 Kompasianer menilai aktual

Seorang aktivis kelahiran Papua yang sudah menjadi warga negara Vanuatu, Andy Ayamiseba beberapa hari lalu ditahan aparat kamanan Port Vila, Vanuatu. Andy bersama puluhan orang lainnya Senin, 14 Mei2012 ditangkap karena melakukan protes kepada pemerintah Vanuatu tanpa izin yang sah.
13372406391016017689
Andy Ayamiseba. Sumber : martoart.multiply.com
Protes Andy terkait kebijakan Pemerintah Vanuatu menjalin kerjasama latihan militer dengan pihak Indonesia. Andy menolak kedatangan pesawat militer Vanuatu yang membawa 100 unit komputer, sebagai bagian dari perjanjian kerja sama yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Vanuatu. Ayamiseba menilai tindakan ini telah mengabaikan dukungan rakyat Vanuatu terhadap hak penentuan nasib sendiri bagi Papua Barat.
“Jika ada kekuatan seperti itu untuk melatih polisi Vanuatu, Indonesia harus menjadi yang terakhir dalam daftar. Orang-orang ini,(Indonesia)mereka melakukan kekejaman pada orang-orang Melanesia lainnya. Jadi ating menendang AFP keluar adalah untuk memiliki militer Indonesia dan polisi ating ke sini.” Protes Andy.
Andy Ayamiseba selama ini memang dikenal sebagai orang Papua yang sudah lama hidup di pengasingan. Andy lahir di kota Biak, 21 April 1947. Ayahnya orang Papua dan ibu keturunan Tionghoa. Hidup di pengasingan adalah bagian dari perwujudan sikap politiknya menolak integrasi Papua ke dalam NKRI. Ia kemudian memilih menjadi warga negara Vanuatu. Dari tempat pengasingannya itu, Andy terus menjalin hubungan dengan faksi-faksi pendukung Papua merdeka.
Mungkin juga Andy adalah salah satu tokoh yang mencari sponsor di luar negeri untuk mendukung aktivitas kelompok pro-M, termasuk dari pemerintah Vanuatu. Namun apa mau dikata, melihat trend dunia internasional yang terus memberikan dukungannya bagi KEDAULATAN NKRI atas wilayah Papua, Pemerintah Vanuatu pun akhirnya melunak.
Sekeras apapun sikapnya menentang keberadaan Pemerintah RI di Tanah Papua, Pemerintah Vanuatu rupanya harus bersikap realistis terhadap kemiskinan yang menimpa negerinya. Papua yang dulunya tertinggal ternyata sudah jauh lebih maju ketimbang daerah-daerah pedalaman di Vanuatu. Itu berkat kerja keras Pemerintah dan bangsa Indonesia untuk memajukan Papua, kendati masih ada segelintir kelompok Pro-M yang menentang dan menghambat.
Sikap sabar dan tak kenal lelah Pemerintah Indonesia ini, telah membuka mata Pemerintah Vanuatu. Daripada ikut-ikutan mendukung gerakan pemisahan Papua dari NKRI yang arahnya semakin tak jelas, adalah lebih bijaksana menjadikan Indonesia sebagai mitra untuk bersama-sama memajukan dan mensejahterakan ras Melanesia, baik yang ada di Tanah Papua maupun di negara-negara Asia Pasifik lainnya.
Maka penangkapan dan penahanan Andy Ayamiseba adalah TEPAT dalam rangka menjaga hubungan baik negara Vanuatu dengan Indonesia yang memang secara geografis bertetangga dekat, dan ingin semakin dekat melalui kerjasama bilateral untuk saling membangun dan 

Sabtu, 12 Mei 2012

Masyarakat Nabire Papua: Menolak Kehadiran bambang Darmono dengan Paket UP4B di Nabire-PAPUA

0 komentar

Aktivis Papua Kecam Kehadiran Bambang Darmono dan UP4B di Tanah Papua

Print
Category: Berita
Created on Saturday, 12 May 2012 Published Date
Dorus Wakum, Aktivis HAM di Papua dan Kepala UP4B Letjen TNI (Purn) Bambang Darmono (Foto: Created SP)
PAPUAN, Jakarta ---Kehadiran Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), Letjen TNI (Purn) Bambang Darmono dinilai telah menimbulkan banyak konflik, salah satunya saat seorang mama Papua dipukul hingga berdarah di pelipis kanan oleh aparat kepolisian resort Nabire, ketika aksi penolakan kepala UP4B dan UP4B yang dilakukan rakyat Papua Barat, Kamis (10/5) di bandara udara, Nabire, Papua.
 “Dari dua tindak kekerasan ini, saya menilai bahwa Bambang Darmono mulai menunjukkan soft military powernya untuk memberitahukan kepada masyarakat Papua Barat bahwa siapa saja yang menghalangi UP4B akan mengalami nasib yang sama dengan para korban.”
Hal ini ditegaskan Dorus Wakum, salah satu aktivis Papua, dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi suarapapua.com, Sabtu (12/5), dalam menyikapi kekerasan terhadap mama Selvina Muyapa (34), dan juga kekerasan terhadap sepuluh aktivis Papua yang pernah terjadi di Fakfak, Papua Barat, karena menolak kehadiran Kepala UP4B.

“Bambang Darmono harus diusir dari tanah Papua karena sudah melukai hati mama-mama Papua, termasuk terhadap mahasiswa dan aktivis di tanah Papua,” kata Dorus. 

Sebagai aktivis kemanusian, Dorus memprotes keras tindakan aparat kepolisian di Nabire dan meminta kepada Kapolres agar segera memproses anak buahnya yang melakukan tindakan kekerasan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

“Saya juga minta agar Bambang Darmono supaya hentikan kegiatan sosialisasi yang hanya menghamburkan uang rakyat dan menimbulkan kekerasan terhadap warga masyarakat adat Papua barat,” tegas Dorus yang juga pernah memimpin KontraS Papua.

“Tidak cukupkah gaya kepemimpinan di Aceh yang akan diterapkan di Tanah Papua Barat sebagai strategi baru atau babak baru kekerasan militeristik melalui alat yang disebut UP4B,” tanya Dorus.

Lagi menurut Dorus, kehadiran UP4B bukan memberikan dampak kesejahteraan, tetapi memberikan dampak sakit hati atas kekerasan yang dialami oleh warga Papua.

“Ini menyangkut black memories of human right violation selama ini diatas tanah Papua Barat. Cukup sudah catatan hitam orang asli Papua Barat yang mengalami kekerasan dari waktu ke waktu dan tidak perlu lagi pendekatan militeristik yang digunakan oleh kepolisian dalam mengamankan kehadiran UP4B,” urainya. .

Dorus juga menghimbau kepada Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk mengevaluasi kinerja UP4B sesegera mungkin.

“Jika Bambang Darmono selalu dengan kekerasan, maka dicopot saja, sebab hal ini akan menambah coretan luka yang mendalam bagi orang asli Papua sekarang dan kemudian hari,” ujar Dorus yang juga memimpin LSM KAMPAK Papua.

“Kami aktivis dan masyarakat adat Papua akan terus melawan UP4B dan Bambang Darmono jika cara-cara kekerasan masih terus dikedepankan untuk mensosialisasikan program UP4B yang sudah ditolak rakyat Papua Barat,” tegasnya mengakhiri.

Sebelumnya, di Kabupaten Nabire, Kamis (10/5), Bambang Darmono beserta team UP4B “diusir” oleh ribuan masyarakat Nabier yang sudah memadati bandara udara sejak pagi hari.

Mereka menegaskan bahwa UP4B bukan sebuah solusi, namun hanya menambah masalah baru, karena itu UP4B harus dihentikan, dan segara memjawab hak politik rakyat Papua Barat.

Bupati Nabire, Isais Douw yang tampak hadir dalam kesempatan itu juga tidak mampu mengontrol massa aksi, dan justru ikut sepakat dengan tuntutan masyarakat agar Bambang Darmono dan team UP4B kembali ke Jakarta melalui pesawatnya yang sedang di parkir di hanggar bandara udara Nabire.

OKTOVIANUS POGAU
 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com